Sabtu, 25 April 2009

Kamandaka

Di Jawa Barat pada jaman dahulu kala ada sebuah Kerajaan Hindu yang besar dan cukup kuat, yaitu berpusat di kota Bogor. Kerajaan itu adalah Kerajaan “Pajajaran”, pada saat itu raja yang memerintah yaitu Prabu Siliwangi. Beliau sudah lanjut usia dan bermaksud mengangkat Putra Mahkotanya sebagai penggantinya.
Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putra dan satu orang putri dari dua Permaisuri, dari permaisuri yang pertama mempunyai dua orang putra yaitu: Banyak Cotro dan Banyak Ngampar. Namun sewaktu Banyak Cotro dan Banyak Ngampar masih kecil ibunya telah meninggal.
Maka Prabu Siliwangi akhirnya kawin lagi dengan permaisuri yang kedua, yaitu Kumudaningsih. Pada waktu Dewi Kumuudangingsih diambil menjadi Permaisuri oleh Prabu Siliwangi, ia mengadakan perjanjian, bahwa jika kelak ia mempunyai putra laki-laki, maka putranyalah yang harus meggantikan menjadi raja di Pajajaran.
Dari perkawinannya dengan Dewi Kumudaningsih, Prabu Silliwangi mempunyai seorang putra dan seorang putri, yaitu: Banyak Blabur dan Dewi Pamungkas.
Pada suatu hari Prabu Siliwangi memanggil Putra Mahkotanya, Banyak Cotro dan Banyak Blabur untuk menghadap, maksudnya ialah Prabu Siliwangi akan mengangkat putranya untuk menggantikan menjadi raja di Pajajaran karena beliau sudah lajut usia.
Namun dari kedua Putra Mahkotanya belum ada yang mau diangkat menjadi raja di Pajajaran. Sebagai putra sulungnya Banyak Cokro mengajukan beberapa alasan, antara lain alasannya adalah:
• Untuk memerintahkan Kerajaan dia belum siap, karena belum cukup ilmu.
• Untuk memerintahkan Kerajaan seorang raja harus ada Permaisuri yang mendampinginya, sedangkan Banyak Cotro belum kawin.
Banyak Cotro mengatakan bahwa dia baru kawin kalau sudah bertemu dengan seorang putri yang parasnya mirip dengan ibunya. Oleh sebab itu Banyak Cotro meminta ijin pergi dari Kerajaan Pajajaran untuk mencaari putri yang menjadi idamannya..
Kepergian Banyak Cotro dari Kerajaan Pajajaran melalui gunung Tangkuban Perahu, untuk menghadap seorang pendeta yang bertempat di sana. Pendeta itu ialah Ki Ajar Winarong, seorang Pendeta sakti dan tahu untuk mempersunting putri yang di idam-idamkannya dapat tercapai.
Namun ada beberapa syarat yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh Banyak Cotro, yaitu harus melepas dan menaggalkan semua pakaian kebesaran dari kerajaan dengan hanya memakai pakaian rakyat biasa. Dan ia harus menyamar dengan nama samaran “Raden Kamandaka”
Setelah Raden Kamandaka berjalan berhari-hari dari Tangkuban Perahu ke arah Timur, maka sampailah Raden Kamandaka kewilayah Kadipaten Pasir Luhur.
Secara kebetulan Raden Kamandaka sampai Pasir Luhur, betemu dengan Patih Kadipaten Pasir Luhur yaitu Patih Reksonoto. Karena Patih Reksonoto sudah tua tidak mempuunyai anak, maka Radenn Kamandaka akhirnya dijadikan anak angkat Patih Reksonoto merasa sangat bangga dan senang hatinya mempunyai Putra Angkat Raden Kamandaka yang gagah perkasa dan tampan, maka Patih Reksonoto saangat mencintainya.
Adapun yang memerintahkan Kadipaten Pasir Luhur adalah “Adi Pati Kanandoho”. Beliau mempunyai beberapa orang Putri dan sudah bersuami kecuali yang paling bungsu yaitu Dewi Ciptoroso yang belum bersuami. Dewi Ciptoroso inilah seorang putri yang mempunyai wajah mirip Ibu raden Kamandaka, dan Putri inilah yng sedang dicari oeh Raden Kamandaka.
Suatu kebiasaan dari Kadipaten Pasir Luhur bahwa setiap tahun mengadakan upacara menangkap ikan di kali Logawa. Pada upacara ini semua keluarga Kadipaten Pasir Luhur beserta para pembesar dan pejabatan pemerintah turut menangkap ikan di kali Logawa.
Pada waktu Patih Reksonoto pergi mengikuti upacara menangkap ikan di kali Logawa, tanpa diketahuinya Raden Kamandaka secara diam-diam telah mengikutinya dari belakang. Pada kesempatan inilah Raden Kamandaka dapat bertemu dengan Dewi Ciptoroso dan mereka berdua saling jatuh cinta.
Atas permintaan dari Dewi Ciptoroso agar Raden Kamandaka pada malam harinya untuk dating menjumpai Dewi Ciptoroso di taman Kaputren Kadipaten Pasir Luhur tempat Dewi Ciptoroso berada. Benarlah pada malam harinya Raden Kamandaka dengan diam-diam tanpa ijin patih Resonoto, ia pun pergi menjumpai Dewi Ciptoroso yang sudah rindu menanti kedatangan Raden Kamandaka.
Namun keberadaan Raden Kamandaka di Taman Kaputren Bersama Dewi Ciptoroso tidak berlangsung lama. Karena tiba-tiba prajurit pengawal Kaputren mengetahui bahwa di daalam taman adaa pencuri yang masuk. Hal ini kemu kemudian dilaporkan oleh Adipatih Kandandoho.
Menanggapi laporan ini, maka Adipatih sangat marah dan memerintahkan praajuritnya untuk menangkap peencuri tersebut. Karena kesaktian daan ilmu ketangkasan yang dimiliki oleh Raden Kamandaka, maka Raden Kamandaka dapat meloloskan diri dari kepungan prajurit Pasir Luhur.
Sebelum Raden Kamandaka lolos daari Taman Kaputren, ia sempat mengatakan identitasnya. Bahwa ia bernama Raden Kamandaka putra dari Patih Reksonoto.
Hal inii di dengar olehh prajurit, dan melaporkan kepada Adipatih Kandandoohho. Mendengar hal innii maka Patih Reksonoto pun dipanggil dan harus menyerahkan putra nya . Perintaah ini dilaksanakan oleh Patih Reksonoto, walaupun dalam hatinya sangatlah berat. Sehimgga dengan siasat daari Patih Reksonoto, maka Raden Kamandaka dapat lari daan selamat daaripengejaran para prajurit.
Raden Kamandaka terjun masuk kedalam sungai dan menyelam mengikuti arus air sungai. Oleh Patih Reksonoto dan para prajurit yang mengejar,, dilapoprkan bahwa Raden Kamandaka dikatakan sudah mati didalam sugai. Mendengar berita ini Adipatih Kandandoho merasa lega dan puas. Nmun sebaliknya Dewi Ciptoroso yang setelah mendengar berita itu sangatlah muram dan sedih.
Sepanjang Raden Kamandaka menyelam mengikuti arus sungai bertemulah dengan seorang yang memancing di sungai. Orang tersebut bernama Rekajaya, Raden Kamandaka daan Rekajaya kemudian berteman baik dan menetap di desa Panagih. Di desa ini Raden Kamandaka diangkat anak oleh Mbok Kektosuro, seorang janda miskin di desa tersebbut.
Raden Kamandaka menjadi penggemar adu ayam. Kebetulan Mbok Reksonoto mempunyai ayam jago yang bernama “Mercu”. Pada setiap penyabungan ayam Raden Kamandaka selalu menang dalam pertandingan, maka Raden Kamandaka menjadi sangat terkenal sebagai botoh ayam.
Hal ini tersiar saampai kerajaan Pasir Luhur, mendengar hal ini Adipatih Kandadoho menjadi marah dan murka. Beliau memerintahkan prajuritnya untuk menagkap hidup atau mati Raden Kamandaka .
Pada saat itu tiba-tiba datanglah seorang pemuda tampan mengaku dirinya bernama”Silihwarni” yang akan mengabdikan diri kepada Pasir Luhur, maka ia permohonannya di terima, tetapi asalkan ia harus dapat membunuh Raden Kamandaka. Untuk membuktikannya ia harus membawa darah dan hati Raden Kamandaka.
Sebenarnya Silihwarni adalah nama samaran. Nama itu sebenarnya adalah Banyak Ngampar Putra dari kejajaan Pajajaran, yaitu adik kandung dari Raden Kamandaka.
Ia oleh ayahnya Prabu Siliwangi ditugaskan untuk mencari saudara kandungnya yang pergi sudah lama belum kembali. Untuk mengatasi gangguan dalam perjalanan, ia dibekali pusaka keris Kujang Pamungkas sebagai senjatanya. Dan dia juga menyamar dengan nama Silihwarni, dan berpakaian seperti rakyat biasa.
Karena ia mendengar berita bahwa kakak kandungnya berada di Kadipaten Pasir Luhur, maka ia pun pergi kesana. Setelah Silihwarni menerima perintah daari Adipatih, pergilah ia dengan diikuti beberapa prajurit dan anjing pelacak menuju desa Karang Luas, tempat penyabungan ayam.
Ditempat inilah mereka bertemu. Namun keduanya sudah tidak mengenal lagi. Silihwari berpakaian seperti raknyat biasa sedangkan Raden Kamandaka berpakaian sebagai botoh ayam, dan wajahnya pucat karena menahan kernduan kepada kekasihnya.
Terjadilah persabungan ayan Raden Kamandaka dan Silihwarni, dengan tanpa disadari oleh raden kamandaka tiba-tiba Silihwrni menikam pinggang Raden Kamandaka dengan keris Kujang Pamungkasnya. Karena luka goresan keris itu tersebut darahpun keluar dengan deras. Namun karena ketangkasan Raden Kamandaka , iapun dapat lolos dari bahaya tersebut dan tempat ia dapat lolos itu dinamakan desa Brobosan, yang berarti ia dapat lolos dari bahaya.
Karena lukanya semakin deras mengeluarkan darah, maka iapun istirahat sebentar disuatu tempat, maka tempat itu dinamakan Bancran. Larinya Raden Kamandaka terus dikejar oleh Silihwarni dan prajurit. Pada suatu tempat Raden Kamandaka dapat menangkap anjing pelacaknya dan kemudian tempat itu di berinya nama desa Karang Anjing.
Raden Kamandaka terus lari kearah timur dan sampailah pada jalan buntu dan tempat ini ia memberi nama desa buntu. Pada akhirnya Raden Kamandaka sampailah disebuah Goa. Didalam Goa ini ia beristirahat dan bersembunyi dari kejaran Silihwarni. Silihwarni yang terus mengejar setelah sampai goa ia kehilangan jejak. Kemudian Silihwarnipun dari mulut goa tersebut berseru menantang Raden Kamandaka.
Setelah mendengar tantagan Silihwarni, Raden Kamandaka pun menjawab ia mengatakan identitasnya, bahwa ia adalah putra dari kerajaan Pajajaran namanya Banyak Cotro.
Setelah itu Silihwarnipun mengatakan identitasnya bahwa ia juga putra dari Kerajaan Pajajaran, bernama Banyak Ngampar. Demikian kata-kata ayang pengakuan antara Raden Kamandaka dan Silihwarni bahwa mereka adalah purta pajajaran, maka orang yang mendengar merupakan nama versi ke-2, untuk goa jatijajar tersebut. Kemudian mereka berdua berpeluka dan saling memaafkan.
Namun karena Silihwarni harus membawa bukti hati dan darah Raden Kamandaka, maka akhirnya anjing pelacaknya yang dipotong diambil darah dan hatinya. Dikatakan bahwa itu adalah hati dan darah Raden Kamandaka yang telah dibunuhnya.
Raden Kamandaka kemudian bertapa di dalam goa dan mendapat petunjuk , bahwa niatnya untuk mempersunting Dewi Ciptoroso akan tercapai kalau ia sudah mendapat pakaian “Lutung” dan ia disuruh supaya mendekat ke Kadipaten Pasir Luhur, yaitu supaya menetap di hutan Batur Agung, sebelah Barat Daya dari batu Raden.
Suatu kegemaran dari Adipatih Pasir Luhur adalah berburu. Pada suatu hari Adipatih dan semua keluarganya berburu, tiba-tiba bertemulah dengan seekor lutung yang sangat besar dan jinak. Yang akhirnya di tangkaplah lutung tersebut hidup-hidup.
Sewaktu akan dibawa pulang , tiba-tiba Rekajaya datang mengaku bahwa itu adalah lutung peliharaannya, dan mengatakan beredia membantu merawatnya jika lutung itu akan dipelihara di Kadipaten. Dan permohonan itu pun dikabulkan.
Setelah sampai di kadipaten para putri berebut ingin memelihara lutung tersebut. Selama di Kadipaten lutung tersebut tidak mau dikasih makan. Oleh sebab itu akhirnya oleh Adipatih lutung tersebut disayembarakan yaitu jika ada salah seoraang dari putrinya dapat memberi makan dan diterima oleh lutung tersebut maka ia lah yang akan memelihara lutung tersebut.
Ternyata makanan yang diterima oleh lutung tersebut hanyalah makanan dari Dewi Ciporoso, maka “Lutung Kasarung” itu menjadi peliharaan Dewi Ciptoroso. Pada malam hari lutung tersebut berubah wujud menjadi Raden Kamandaka. Sehingga hanya Dewi Ciptoroso yang tahu tentang hal tersebut. Pada siang hari ia berubah menjadi lutung lagi. Maka keadaan Dewi kini menjadi sangat gembira dan bahagia, yang selalu ditemani lutung kasarung.
Alkisah pada suatu hari raden dari Nusa Kambangan Prabu Pule Bahas menyuruh Patihnya untuk meminang Putri Bungsu Kadipaten Pasir Luhur Dewi Ciptoroso dan mengancam apabila pinangannya ditolak ia akan menghancurkan Kadipaten Pasir Luhur.
Atas saran dan permintaan dari Lutung Kasarung pinangan Raja Pule Bahas agar supaya diterima saja. Namun ada beberapa syarat yang haarus dipenuhi oleh raja Pule Bahas. Salah satunya ialah dalam pertemuan pengantin nanti Lutung Kasarung harus turut mendampingi Dewi Ciporoso.
Pada waktu pertemuan pengantin berlangsung, Raja Pule Bahas selalu diganggu oleh Lutung Kasarung yang selalu mendampingi Dewi Ciptoroso. Oleh sebab itu Raja Pule Bahas marah dan memukul Lutung Kasarung. Namun Lutung Kasarung telah siap berkelahi melawan Raja Pule Bahas.
Pertarungan Raja Pule Bahas dengan Lutung Kasarung terjadi sangat seru. Namun karena kesaktian dari Luung Kasarung, akhirnya Raja Pule Bahas gugur dicekik dan digigit oleh Lutung Kasarung.
Tatkala Raja Pule Bahas gugur maka Lutung Kasarung pun langsung menjelma menjadi Raden Kamandaka, dan langsung mengenkan pakaian kebesaran Kejajaan Pajajaran dan mengaku namanya Banyak Cotro. Kini Adipatih Pasir Luhur pun mengetahui hal yang sebenarnya adalah Raden Kamandaka dan Raden Kamandaka adalah Banyak Cotro dan Banyak Cotro adalah Lutung Kasarung putra mahkota dari kerajaan Pajajaran. Dan akhirnya ia dikawinkan dengan Dewi Ciptoroso.
Namun karena Raden Kamandaka sudah cacat pada waktu adu ayam dengan Silihwarni kena keris Kujang Pamungkas maka Raden Kamandaka tidak dapat menggantikan menjadi raja di Pajajaran.
Karena tradisi kerajaan Pajajaran, bahwa putra mahkota yang akan menggantikan menjadi raja tidak boleh cacat karena pusaka Kujang Pamungkas. Sehingga setelah ia dinikahkan dengan Dewi Ciptoroso, Raden Kamandaka hanya dapat menjadi Adipatih di Pasir Luhur Menggantikan mertuanya. Sedangkan yang menjadi Raja di Pajajaran adalah Banyak Blabur
window.google_render_ad();


warto word press

Dewata Cengkar

Arya Penangsang Gugur

Pada akhir abad 15 agama islam telah berkembang pesat di daerah pantai utara Pulau Jawa. Sebagian besar perintis dan pelopor penyebaran islam adalah para wali. Perkumpulan para wali yang terkenal di tanah Jawa adalah Walisanga. Ketika Majapahit runtuh, salah seorang Pangeran Majapahit (anak Brawijaya V) dengan dukungan para wali mendirikan sebuah kerajaan. Kerajaan tersebut adalah Kerajaan Demak. Pangeran Majapahit tersebut adalah Pangeran Jin Bun atau lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah.
Raden Patah mempunyai 3 orang anak, yaitu: Sekar Tanjung yang kemudian diperisteri oleh Pati Unus, Raden Kikin atau lebih dikenal sebagai Pangeran Sekar Sedalepen (ayah Arya Penangsang), dan yang bungsu adalah Pangeran Trenggana. Setelah Raden Patah wafat, Kerajaan Demak diperintah oleh Pati Unus. Pati Unus tidak berusia panjang. Baru tiga tahun menduduki tahta Demak, ia wafat. Sepeninggal Pati Unus, Demak mengalami kegoncangan. Tahta Demak menjadi rebutan. Sebenarnya yang berhak atas tahta adalah adik dari Pati Unus yang tidak lain adalah Raden Kikin karena Pati Unus tidak meninggalkan seorang anakpun. Akan tetapi Pangeran Trenggana berambisi merebut tahta Demak. Dengan dibantu oleh anak Trenggana bernama Sunan Prawata, Raden Kikin berhasil dibunuh saat melakukan wudlu di sungai. Dengan cara demikian, Pangeran Trenggana berhasil menduduki tahta Demak dan bergelar Sultan Trenggana.
Sebelum meninggal, Raden Kikin telah memiliki seorang putra yang masih kecil bernama Arya Penangsang. Untuk meredam dendam Arya Penangsang, Sultan Trenggana mengangkatnya menjadi seorang adipati di Jipang.
Arya Penangsang adalah putra satu-satunya Raden Kikin. Ketika dewasa dan menjadi seorang adipati, ia terkenal sebagai seorang yang berperawakan tinggi, besar, kekar, berwatak keras, pemberani, dan gampang tersulut emosi (temperamental). Ia adalah murid kesayangan Sunan Kudus. Sebagai murid kesayangan, tentunya ia memiliki kesaktian yang luar biasa. Ia mempunyai senjata pusaka yang ampuh berupa keris bernama Ki Brongot Setan Kober. Ia juga mempunyai seekor kuda perang jantan berwarna hitam yang tangguh bernama Gagak Rimang.
Sejak terbunuhnya Raden Kikin ayahnya, Arya Penangsang menaruh dendam kesumat terhadap Sunan Prawata dan Sultan Trenggana. Ia terpaksa menahan diri karena pada waktu itu para pinisepuh Kerajaan Demak menyetujui pengangkatan Pangeran Trenggana sebagai seorang sultan. Arya Penangsang memandang hal itu tidak sah dan tidak adil. Ia akan tetap menuntut balas dan menuntut keadilan harus ditegakkan. Ia berambisi merebut tahta Demak, karena ia merasa dialah yang berhak atas tahta Demak.
Semenjak pengangkatannya sebagai seorang adipati, Arya Penangsang tidak pernah mau menghadap ke Demak. Sultan Trenggana memaklumi hal itu. Sultan Trenggana telah melakukan berbagai bujukan, tetapi hati Arya Penangsang sangat sulit dilunakkan.
Sedangkan di lain pihak, Sultan Trenggana harus menghadapi adipati-adipati yang tidak mau begitu saja tunduk kepada kepemimpinan Sultan Trenggana. Sebagian besar adipati justru membela Arya Penangsang karena menganggap Arya Penangsanglah orang yang berhak atas tahta Demak.
Sesungguhnya Sultan Trenggana adalah raja yang cakap dalam menjalankan pemerintahan. Pada zaman pemerintahnnya, kekuasaan Kerajaan Demak telah meluas meliputi Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Banten dan Cirebon pun berada di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Tidak salah jika dikatakan bahwa zaman pemerintahan Sultan Trenggana, Demak mengalami masa kejayaan.
Di tengah-tengah keberhasilan Sultan Trenggana dalam pemerintahan, Arya Penangsang masih menyimpan dendam kesumat atas kematian ayahnya. Sementara itu, ia mengetahui bahwa kelak sepeninggal Sultan Trenggana, tahta Demak akan jatuh ke tangan Sunan Prawata, anak Sultan Trenggana. Untuk itulah ia mengutus pembunuh bayaran untuk membunuh Sunan Prawata. Dengan begitu, ia berharap sepeninggal Sultan Trenggana tahta Demak jatuh ke tangannya.
Rupanya yang diharapkan Arya Penangsang tersebut meleset. Tahta Demak justru jatuh ke tangan menantu Sultan Trenggana, Mas Karebet alias Jaka Tingkir dan bergelar Sultan Hadiwijaya. Dalam pemerintahannya, Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat kerajaan ke Pajang dan mengganti nama kerajaan menjadi Kasultanan Pajang. Demak dijadikan sebuah kadipaten dan dipimpin oleh Adipati Arya Pangiri.
Mengetahui hal itu, semakin berkobar dendam Arya Penangsang dan timbul keinginan untuk membunuh Sultan Hadiwijaya. Ia mengutus abdi Jipang untuk membunuh Sultan Hadiwijaya. Untuk menunjang keberhasilan rencananya, Arya Penangsang meminjamkan pusakanya, Keris Ki Brongot Setan Kober, kepada abdi tersebut. Karena kesaktiannya, Sultan Hadiwijaya tidak berhasil dibunuh. Abdi yang tertangkap tersebut tidak dihukum, tetapi disuruh pulang ke Jipang bahkan diberi hadiah berupa harta benda dengan syarat keris pusaka Setan Kober dipinjam dulu oleh Sultan Hadiwijaya.
Mendengar berita itu, Arya Penangsang merasa terhina dan sangat murka. Abdi yang tidak berhasil tersebut hampir saja mati di tangan Arya Penangsang. Namun, kemarahan Arya Penangsang tersebut dapat diredam oleh Sunan Kudus.
Sunan Kudus yang memang membela Arya Penangsang menyusun rencana untuk membunuh Sultan Hadiwijaya. Dengan kedok mendamaikan Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya, Sunan Kudus mengumpulkan mereka berdua di rumah Sunan Kudus. Arya Penangsang datang lebih dulu. Dia diberi wanti-wanti oleh Sunan Kudus agar Sultan Hadiwijaya duduk di kursi yang telah diberi rajah Kalacakra, rajah kesialan. Ketika Sultan Hadiwijaya dengan didampingi Ki Ageng Pemanahan datang, Arya Penangsang sudah berusaha merayu Sultan Hadiwijaya agar bersedia duduk di kursi yang telah diberi rajah kesialan. Awalnya, Sultan Hadiwijaya hampir menduduki kursi tersebut. Akan tetapi, atas nasehat Ki Ageng Pemanahan, Sultan Hadiwijaya tidak jadi mendudukinya, justru Arya Penangsanglah yang mendudukinya. Ia sudah lupa akan pesan gurunya.
Sultan Hadiwijaya membawa keris pusaka Setan Kober yang awalnya akan dipakai untuk membunuhnya. Keris tersebut diminta kembali Arya Penangsang. Keris tersebut dipamerkan oleh Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya pun tidak mau kalah. Beliau menunjukkan keris pusakanya juga bernama Keris Cerubuk Kyai Conthe.
Kedua orang tersebut tidak mau mengalah dan menganggap pusakanya yang paling sakti. Duel pun tidak dapat dihindarkan. Di tengah duel tersebut, Sunan Kudus menghampiri dan melerai. Sunan Kudus yang sudah memegang tangan kanan Hadiwijaya menyuruh Arya Penangsang me-wrangka-kan (memasukkan ke wadahnya) kerisnya. Sebenarnya ucapan Sunan Kudus yang tersirat tersebut bermaksud menyuruh Arya Penangsang menusukkan kerisnya ke dada Hadiwijaya. Arya Penangsang yang tidak paham akan maksud gurunya tersebut memasukkan kerisnya ke wadahnya.
Melihat situasi yang sudah memanas, Sunan Kudus yang bijaksana memutuskan untuk menunda pertemuan dan menyuruh kedua muridnya untuk pulang ke tempat masing-masing. Sultan Hadiwijaya segera meninggalkan rumah Sunan Kudus.
Sultan Hadiwijaya dalam perjalanannya pulang ke Pajang, beliau mampir ke Gunung Danaraja, tempat Ratu Kalinyamat melakukan tapa wuda (tanpa busana). Ratu Kalinyamat adalah adik Sunan Prawata yang juga anak dari Sultan Trenggana. Ratu Kalinyamat menaruh dendam kepada Arya Penangsang karena telah membunuh kakaknya dan juga suaminya. Beliau bertapa di Gunung Danaraja dan bersumpah tidak akan memakai busananya sebelum keramas darah Arya Penangsang. Sebenarnya Sultan Hadiwijaya bermaksud meminta Ratu Kalinyamat untuk tinggal di Pajang karena melihat keadaan kakak iparnya yang memprihatinkan. Akan tetapi, Ratu Kalinyamat tetap teguh pada pendiriannya untuk tetap bertapa. Bahkan, beliau menjanjikan akan memberikan hadiah tanah Pati dan dinikahkan dengan kedua putri Sunan Prawata bagi siapa saja yang bisa membunuh Arya Penangsang. Kedua putri Sunan Prawata bernama Semangkin dan Prihatin ikut bibinya di Gunung Danaraja.
Arya Penangsang yang masih tinggal di kediaman gurunya merasa dibohongi gurunya. Arya Penangsang menuntut janji Sunan Kudus yang mau membantu usahanya dalam merebut tahta. Sunan Kudus mendengar ucapan muridnya itu justru menyalahkan Arya Penangsang yang tidak paham akan maksud Sunan Kudus. Sunan Kudus juga menyalahkan Ara Penangsang karena telah menduduki kursi yang sedianya harus diduduki Sultan Hadiwijaya yang telah diberi rajah kesialan.
Arya Penangsang lemas dan tersungkur menangisi kelalaiannya. Untuk menghapus kesialan tersebut, Arya Penangsang harus menjalani tirakat (menjalankan sesuatu untuk meraih sesuatu) selama 40 hari. Arya Penangsang harus menjalankan tirakat berupa puasa makan dan minum, memberi makan orang yang kelaparan, tidak boleh dekat dengan wanita, dan tidak boleh marah.
Di lain pihak, atas informasi yang diberikan prajurit teliksandi Pajang yang bertugas di Jipang, Sultan Hadiwijaya mengetahui perihal tentang kesialan Arya Penangsang. Bersama Ki Ageng Pemanahan Sultan Hadiwijaya merencanakan serangan kepada Pajang. Atas nasihat Ki Ageng Pemanahan, Sultan Hadiwijaya dilarang memimpin penyerangan. Ki Ageng Pemanahan menyarankan penyerangan dipimpin oleh seorang senopati, yaitu Dhanang Sutawijaya yang juga anak Ki Ageng Pemanahan sendiri. Sultan Hadiwijaya menjanjikan akan menganugerahkan alas Mentaok kepada Dhanang Sutawijaya jika berhasil membunuh Arya Penangsang.
Dalam merencanakan penyerangan, Ki Ageng Pemanahan merundingkan hal tersebut bersama Ki Juru Amertani. Oleh Ki Juru Amertani, Sutawijaya dalam memimpin penyerangan disarankan menggunakan kuda betina putih untuk menggoyahkan kuda Gagak Rimang, tunggangan Arya Penangsang. Selain itu, disarankan juga serangan dilakukan di bantaran sungai Bengawan Sore.
Empat puluh hari yang telah dilalui Arya Penangsang dalam menjalankan tirakat dirayakan dengan mengadakan pesta di kediaman Arya Penangsang. Di tengah-tengah pesta tersebut, salah seorang pekathik (tukang pencari rumput untuk makan kuda) datang dengan kuping berdarah. Pekathik tersebut telah dipotong telinganya oleh Ki Ageng Pemanahan agar menyampaikan surat tantangan kepada Arya Penangsang. Melihat hal tersebut dan membaca surat tersebut, Arya Penangsang sangat marah. Tanpa pikir panjang, ia mengultimatum prajuritnya untuk menghadapi serangan Pajang.
Prajurit Jipang yang telah sampai di sungai Bengawan Sore sudah ditunggu oleh balatentara Pajang. Kedua belah pihak telah bertemu dengan hanya dipisahkan sungai. Berdasarkan saran dari Ki Juru Amertani dan instuksi dari Ki Ageng Pemanahan, para prajurit Pajang di seberang sungai mengejek para prajurit Jipang dengan tujuan agar Arya Penagsang bersama balatentaranya mau menyeberangi sungai Bengawan Sore. Arya Penangsang yang tersulut emosinya bersama kudanya dan para prajurit Jipang menyeberangi kali Bengawan Sore.
Prajurit Jipang yang sudah kelelahan setelah menyeberangi sungai dengan mudah dapat dikalahkan. Bahkan Patih Jipang bernama Ki Mentaun yang sudah berusia lanjut juga gugur di medan pertempuran. Beliau gugur karena kelelahan mengejar-ngejar para prajurit Pajang.
Merasa dipermainkan dan melihat para prajurinya yang telah berjatuhan, Arya penangsang semakin tersulut emosinya. Ditambah lagi kuda tunggangannya yang sulit dikendalikan. Kudanya tertarik kepada kuda betina tunggangan Dhanang Sutawijaya yang telah dipotong ekornya. Dalam situasi seperti itu, Dahanang Sutawijaya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan langsung menghunusakan tombak Kyai Plered, senjata wasiat dari Sultan Hadiwijaya, ke perut Arya Penangsang sehingga ususnya terurai keluar berlumuran darah.
Arya Penangsang adalah orang yang sakti mandraguna sehingga dalam kondisi usus terurai tersebut dia belum mati dan masih bisa mengejar Dhanang Sutawijaya. Ususnya yang terurai hanya disampirkan ke keris Setan Kober. Pertarungan berlanjut dan Dhanang Sutawijaya sudah hampir kalah. Dia yang sudah kelelahan terkapar di tanah. Kepalanya sudah diinjak Arya Penangsang. Arya Penangsang akan membunuh Dhanang Sutawijaya dengan kerisnya. Dia lupa kalau ususnya disampirkan di kerisnya sehingga sewaktu dia mencabut keris dari wadahnya, ususnya terpotong. Karena kesaktiannya pula dia belum mati dengan usus terpotong tersebut. Dia hanya diam tidak bergerak.
Ki Ageng Pemanahan tahu jika Arya Penangsang tidak akan mati jika belum dihisap ubun-ubunnya. Segera Dhanang Sutawijaya melaksanakan perintah ayahnya untuk menghisap ubun-ubun Arya Penangsang. Seketika Arya Penangsang gugur. Pajang menang atas peperangan itu.
Sesuai dengan janji yang telah terucap, Dhanang Sutawijaya mendapatkan hadiah berupa alas Mentaok, Bumi Pati dan kedua putri Sunan Prawata. Dhanang Sutawijaya berhasil membabad dan membangun alas Mentaok yang dulunya berupa hutan belantara menjadi pemukiman yang ramai dan diberi nama Mataram. Konon alas Mentaok adalah masih wilayah kekuasaan Nyi Roro Kidul. Nyi Roro Kidul bersedia menyerahkan alas Mentaok kepada Sutawijaya bahkan mau membantu membangun dan meramaikan dengan syarat Sutawijaya bersama penerus tahtanya selama 7 periode bersedia menjadi suami Nyi Roro Kidul.
Arya Penangsang Gugur

Pada akhir abad 15 agama islam telah berkembang pesat di daerah pantai utara Pulau Jawa. Sebagian besar perintis dan pelopor penyebaran islam adalah para wali. Perkumpulan para wali yang terkenal di tanah Jawa adalah Walisanga. Ketika Majapahit runtuh, salah seorang Pangeran Majapahit (anak Brawijaya V) dengan dukungan para wali mendirikan sebuah kerajaan. Kerajaan tersebut adalah Kerajaan Demak. Pangeran Majapahit tersebut adalah Pangeran Jin Bun atau lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah.
Raden Patah mempunyai 3 orang anak, yaitu: Sekar Tanjung yang kemudian diperisteri oleh Pati Unus, Raden Kikin atau lebih dikenal sebagai Pangeran Sekar Sedalepen (ayah Arya Penangsang), dan yang bungsu adalah Pangeran Trenggana. Setelah Raden Patah wafat, Kerajaan Demak diperintah oleh Pati Unus. Pati Unus tidak berusia panjang. Baru tiga tahun menduduki tahta Demak, ia wafat. Sepeninggal Pati Unus, Demak mengalami kegoncangan. Tahta Demak menjadi rebutan. Sebenarnya yang berhak atas tahta adalah adik dari Pati Unus yang tidak lain adalah Raden Kikin karena Pati Unus tidak meninggalkan seorang anakpun. Akan tetapi Pangeran Trenggana berambisi merebut tahta Demak. Dengan dibantu oleh anak Trenggana bernama Sunan Prawata, Raden Kikin berhasil dibunuh saat melakukan wudlu di sungai. Dengan cara demikian, Pangeran Trenggana berhasil menduduki tahta Demak dan bergelar Sultan Trenggana.
Sebelum meninggal, Raden Kikin telah memiliki seorang putra yang masih kecil bernama Arya Penangsang. Untuk meredam dendam Arya Penangsang, Sultan Trenggana mengangkatnya menjadi seorang adipati di Jipang.
Arya Penangsang adalah putra satu-satunya Raden Kikin. Ketika dewasa dan menjadi seorang adipati, ia terkenal sebagai seorang yang berperawakan tinggi, besar, kekar, berwatak keras, pemberani, dan gampang tersulut emosi (temperamental). Ia adalah murid kesayangan Sunan Kudus. Sebagai murid kesayangan, tentunya ia memiliki kesaktian yang luar biasa. Ia mempunyai senjata pusaka yang ampuh berupa keris bernama Ki Brongot Setan Kober. Ia juga mempunyai seekor kuda perang jantan berwarna hitam yang tangguh bernama Gagak Rimang.
Sejak terbunuhnya Raden Kikin ayahnya, Arya Penangsang menaruh dendam kesumat terhadap Sunan Prawata dan Sultan Trenggana. Ia terpaksa menahan diri karena pada waktu itu para pinisepuh Kerajaan Demak menyetujui pengangkatan Pangeran Trenggana sebagai seorang sultan. Arya Penangsang memandang hal itu tidak sah dan tidak adil. Ia akan tetap menuntut balas dan menuntut keadilan harus ditegakkan. Ia berambisi merebut tahta Demak, karena ia merasa dialah yang berhak atas tahta Demak.
Semenjak pengangkatannya sebagai seorang adipati, Arya Penangsang tidak pernah mau menghadap ke Demak. Sultan Trenggana memaklumi hal itu. Sultan Trenggana telah melakukan berbagai bujukan, tetapi hati Arya Penangsang sangat sulit dilunakkan.
Sedangkan di lain pihak, Sultan Trenggana harus menghadapi adipati-adipati yang tidak mau begitu saja tunduk kepada kepemimpinan Sultan Trenggana. Sebagian besar adipati justru membela Arya Penangsang karena menganggap Arya Penangsanglah orang yang berhak atas tahta Demak.
Sesungguhnya Sultan Trenggana adalah raja yang cakap dalam menjalankan pemerintahan. Pada zaman pemerintahnnya, kekuasaan Kerajaan Demak telah meluas meliputi Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Banten dan Cirebon pun berada di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Tidak salah jika dikatakan bahwa zaman pemerintahan Sultan Trenggana, Demak mengalami masa kejayaan.
Di tengah-tengah keberhasilan Sultan Trenggana dalam pemerintahan, Arya Penangsang masih menyimpan dendam kesumat atas kematian ayahnya. Sementara itu, ia mengetahui bahwa kelak sepeninggal Sultan Trenggana, tahta Demak akan jatuh ke tangan Sunan Prawata, anak Sultan Trenggana. Untuk itulah ia mengutus pembunuh bayaran untuk membunuh Sunan Prawata. Dengan begitu, ia berharap sepeninggal Sultan Trenggana tahta Demak jatuh ke tangannya.
Rupanya yang diharapkan Arya Penangsang tersebut meleset. Tahta Demak justru jatuh ke tangan menantu Sultan Trenggana, Mas Karebet alias Jaka Tingkir dan bergelar Sultan Hadiwijaya. Dalam pemerintahannya, Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat kerajaan ke Pajang dan mengganti nama kerajaan menjadi Kasultanan Pajang. Demak dijadikan sebuah kadipaten dan dipimpin oleh Adipati Arya Pangiri.
Mengetahui hal itu, semakin berkobar dendam Arya Penangsang dan timbul keinginan untuk membunuh Sultan Hadiwijaya. Ia mengutus abdi Jipang untuk membunuh Sultan Hadiwijaya. Untuk menunjang keberhasilan rencananya, Arya Penangsang meminjamkan pusakanya, Keris Ki Brongot Setan Kober, kepada abdi tersebut. Karena kesaktiannya, Sultan Hadiwijaya tidak berhasil dibunuh. Abdi yang tertangkap tersebut tidak dihukum, tetapi disuruh pulang ke Jipang bahkan diberi hadiah berupa harta benda dengan syarat keris pusaka Setan Kober dipinjam dulu oleh Sultan Hadiwijaya.
Mendengar berita itu, Arya Penangsang merasa terhina dan sangat murka. Abdi yang tidak berhasil tersebut hampir saja mati di tangan Arya Penangsang. Namun, kemarahan Arya Penangsang tersebut dapat diredam oleh Sunan Kudus.
Sunan Kudus yang memang membela Arya Penangsang menyusun rencana untuk membunuh Sultan Hadiwijaya. Dengan kedok mendamaikan Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya, Sunan Kudus mengumpulkan mereka berdua di rumah Sunan Kudus. Arya Penangsang datang lebih dulu. Dia diberi wanti-wanti oleh Sunan Kudus agar Sultan Hadiwijaya duduk di kursi yang telah diberi rajah Kalacakra, rajah kesialan. Ketika Sultan Hadiwijaya dengan didampingi Ki Ageng Pemanahan datang, Arya Penangsang sudah berusaha merayu Sultan Hadiwijaya agar bersedia duduk di kursi yang telah diberi rajah kesialan. Awalnya, Sultan Hadiwijaya hampir menduduki kursi tersebut. Akan tetapi, atas nasehat Ki Ageng Pemanahan, Sultan Hadiwijaya tidak jadi mendudukinya, justru Arya Penangsanglah yang mendudukinya. Ia sudah lupa akan pesan gurunya.
Sultan Hadiwijaya membawa keris pusaka Setan Kober yang awalnya akan dipakai untuk membunuhnya. Keris tersebut diminta kembali Arya Penangsang. Keris tersebut dipamerkan oleh Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya pun tidak mau kalah. Beliau menunjukkan keris pusakanya juga bernama Keris Cerubuk Kyai Conthe.
Kedua orang tersebut tidak mau mengalah dan menganggap pusakanya yang paling sakti. Duel pun tidak dapat dihindarkan. Di tengah duel tersebut, Sunan Kudus menghampiri dan melerai. Sunan Kudus yang sudah memegang tangan kanan Hadiwijaya menyuruh Arya Penangsang me-wrangka-kan (memasukkan ke wadahnya) kerisnya. Sebenarnya ucapan Sunan Kudus yang tersirat tersebut bermaksud menyuruh Arya Penangsang menusukkan kerisnya ke dada Hadiwijaya. Arya Penangsang yang tidak paham akan maksud gurunya tersebut memasukkan kerisnya ke wadahnya.
Melihat situasi yang sudah memanas, Sunan Kudus yang bijaksana memutuskan untuk menunda pertemuan dan menyuruh kedua muridnya untuk pulang ke tempat masing-masing. Sultan Hadiwijaya segera meninggalkan rumah Sunan Kudus.
Sultan Hadiwijaya dalam perjalanannya pulang ke Pajang, beliau mampir ke Gunung Danaraja, tempat Ratu Kalinyamat melakukan tapa wuda (tanpa busana). Ratu Kalinyamat adalah adik Sunan Prawata yang juga anak dari Sultan Trenggana. Ratu Kalinyamat menaruh dendam kepada Arya Penangsang karena telah membunuh kakaknya dan juga suaminya. Beliau bertapa di Gunung Danaraja dan bersumpah tidak akan memakai busananya sebelum keramas darah Arya Penangsang. Sebenarnya Sultan Hadiwijaya bermaksud meminta Ratu Kalinyamat untuk tinggal di Pajang karena melihat keadaan kakak iparnya yang memprihatinkan. Akan tetapi, Ratu Kalinyamat tetap teguh pada pendiriannya untuk tetap bertapa. Bahkan, beliau menjanjikan akan memberikan hadiah tanah Pati dan dinikahkan dengan kedua putri Sunan Prawata bagi siapa saja yang bisa membunuh Arya Penangsang. Kedua putri Sunan Prawata bernama Semangkin dan Prihatin ikut bibinya di Gunung Danaraja.
Arya Penangsang yang masih tinggal di kediaman gurunya merasa dibohongi gurunya. Arya Penangsang menuntut janji Sunan Kudus yang mau membantu usahanya dalam merebut tahta. Sunan Kudus mendengar ucapan muridnya itu justru menyalahkan Arya Penangsang yang tidak paham akan maksud Sunan Kudus. Sunan Kudus juga menyalahkan Ara Penangsang karena telah menduduki kursi yang sedianya harus diduduki Sultan Hadiwijaya yang telah diberi rajah kesialan.
Arya Penangsang lemas dan tersungkur menangisi kelalaiannya. Untuk menghapus kesialan tersebut, Arya Penangsang harus menjalani tirakat (menjalankan sesuatu untuk meraih sesuatu) selama 40 hari. Arya Penangsang harus menjalankan tirakat berupa puasa makan dan minum, memberi makan orang yang kelaparan, tidak boleh dekat dengan wanita, dan tidak boleh marah.
Di lain pihak, atas informasi yang diberikan prajurit teliksandi Pajang yang bertugas di Jipang, Sultan Hadiwijaya mengetahui perihal tentang kesialan Arya Penangsang. Bersama Ki Ageng Pemanahan Sultan Hadiwijaya merencanakan serangan kepada Pajang. Atas nasihat Ki Ageng Pemanahan, Sultan Hadiwijaya dilarang memimpin penyerangan. Ki Ageng Pemanahan menyarankan penyerangan dipimpin oleh seorang senopati, yaitu Dhanang Sutawijaya yang juga anak Ki Ageng Pemanahan sendiri. Sultan Hadiwijaya menjanjikan akan menganugerahkan alas Mentaok kepada Dhanang Sutawijaya jika berhasil membunuh Arya Penangsang.
Dalam merencanakan penyerangan, Ki Ageng Pemanahan merundingkan hal tersebut bersama Ki Juru Amertani. Oleh Ki Juru Amertani, Sutawijaya dalam memimpin penyerangan disarankan menggunakan kuda betina putih untuk menggoyahkan kuda Gagak Rimang, tunggangan Arya Penangsang. Selain itu, disarankan juga serangan dilakukan di bantaran sungai Bengawan Sore.
Empat puluh hari yang telah dilalui Arya Penangsang dalam menjalankan tirakat dirayakan dengan mengadakan pesta di kediaman Arya Penangsang. Di tengah-tengah pesta tersebut, salah seorang pekathik (tukang pencari rumput untuk makan kuda) datang dengan kuping berdarah. Pekathik tersebut telah dipotong telinganya oleh Ki Ageng Pemanahan agar menyampaikan surat tantangan kepada Arya Penangsang. Melihat hal tersebut dan membaca surat tersebut, Arya Penangsang sangat marah. Tanpa pikir panjang, ia mengultimatum prajuritnya untuk menghadapi serangan Pajang.
Prajurit Jipang yang telah sampai di sungai Bengawan Sore sudah ditunggu oleh balatentara Pajang. Kedua belah pihak telah bertemu dengan hanya dipisahkan sungai. Berdasarkan saran dari Ki Juru Amertani dan instuksi dari Ki Ageng Pemanahan, para prajurit Pajang di seberang sungai mengejek para prajurit Jipang dengan tujuan agar Arya Penagsang bersama balatentaranya mau menyeberangi sungai Bengawan Sore. Arya Penangsang yang tersulut emosinya bersama kudanya dan para prajurit Jipang menyeberangi kali Bengawan Sore.
Prajurit Jipang yang sudah kelelahan setelah menyeberangi sungai dengan mudah dapat dikalahkan. Bahkan Patih Jipang bernama Ki Mentaun yang sudah berusia lanjut juga gugur di medan pertempuran. Beliau gugur karena kelelahan mengejar-ngejar para prajurit Pajang.
Merasa dipermainkan dan melihat para prajurinya yang telah berjatuhan, Arya penangsang semakin tersulut emosinya. Ditambah lagi kuda tunggangannya yang sulit dikendalikan. Kudanya tertarik kepada kuda betina tunggangan Dhanang Sutawijaya yang telah dipotong ekornya. Dalam situasi seperti itu, Dahanang Sutawijaya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan langsung menghunusakan tombak Kyai Plered, senjata wasiat dari Sultan Hadiwijaya, ke perut Arya Penangsang sehingga ususnya terurai keluar berlumuran darah.
Arya Penangsang adalah orang yang sakti mandraguna sehingga dalam kondisi usus terurai tersebut dia belum mati dan masih bisa mengejar Dhanang Sutawijaya. Ususnya yang terurai hanya disampirkan ke keris Setan Kober. Pertarungan berlanjut dan Dhanang Sutawijaya sudah hampir kalah. Dia yang sudah kelelahan terkapar di tanah. Kepalanya sudah diinjak Arya Penangsang. Arya Penangsang akan membunuh Dhanang Sutawijaya dengan kerisnya. Dia lupa kalau ususnya disampirkan di kerisnya sehingga sewaktu dia mencabut keris dari wadahnya, ususnya terpotong. Karena kesaktiannya pula dia belum mati dengan usus terpotong tersebut. Dia hanya diam tidak bergerak.
Ki Ageng Pemanahan tahu jika Arya Penangsang tidak akan mati jika belum dihisap ubun-ubunnya. Segera Dhanang Sutawijaya melaksanakan perintah ayahnya untuk menghisap ubun-ubun Arya Penangsang. Seketika Arya Penangsang gugur. Pajang menang atas peperangan itu.
Sesuai dengan janji yang telah terucap, Dhanang Sutawijaya mendapatkan hadiah berupa alas Mentaok, Bumi Pati dan kedua putri Sunan Prawata. Dhanang Sutawijaya berhasil membabad dan membangun alas Mentaok yang dulunya berupa hutan belantara menjadi pemukiman yang ramai dan diberi nama Mataram. Konon alas Mentaok adalah masih wilayah kekuasaan Nyi Roro Kidul. Nyi Roro Kidul bersedia menyerahkan alas Mentaok kepada Sutawijaya bahkan mau membantu membangun dan meramaikan dengan syarat Sutawijaya bersama penerus tahtanya selama 7 periode bersedia menjadi suami Nyi Roro Kidul.

Kamis, 23 April 2009

upacara pengunduhan sarang burung lawet

Asal Usul
Karangbolong merupakan suatu daerah yang terletak di pesisir pantai selatan Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Di daerah yang sebagian tanahnya merupakan pegunungan kapur ini ada suatu tradisi yang berupa upacara ngunduh atau mengambil sarang burung walet yang banyak terdapat di goa-goa yang berada pada tebing sepanjang Pantai Karangbolong. Maksud dan tujuan penyelenggaraan upacara ngunduh sarang burung walet di Desa Karangbolong, Kecamatan Buayan, Kabupaten Kebumen ini adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keselamatan selama proses pengunduhan berlangsung. Selain itu, upacara ngunduh sarang burung walet juga bertujuan untuk meminta izin kepada Nyai Ratu Kidul sebagai penguasa laut selatan dan para penunggu atau yang mbaureksa goa, yaitu Kyai Bekel, Kyai Pangerengan, Kyai Sangkur, dan Mbok Lura Kenanga agar pelaksanaan pengunduhan berjalan dengan lancar. Bagi sebagian masyarakat Karangbolong, makhluk-makhluk gaib tersebut dianggap mempunyai kekuatan yang dapat mendatangkan bencana apabila “daerah kekuasaannya” diganggu tanpa meminta izin terbelih dahulu.

Sejak kapan upacara ngunduh sarang burung walet diadakan? Sampai kini belum ada yang mengetahuinya secara pasti. Namun, menurut cerita yang berkembang secara turun-temurun pada warga masyarakat Karangbolong, kisah dibalik adanya upacara ngunduh sarang burung walet tersebut berawal pada abad XVII ketika permaisuri Raja Mataram mengalami sakit yang tidak kunjung sembuh. Oleh karena segala obat dari tabib maupun dukun tidak ada yang berhasil menyembuhkannya, maka raja pun kemudian melakukan tapa brata untuk mencari petunjuk dari Yang Maha Kuasa agar dapat menolong isterinya. Dan, dalam semedinya itu raja mendapat wangsit bahwa obat yang dapat menyembuhkan permaisuri adalah jamur yang tumbuh pada batu karang di sekitar pantai laut selatan.

Setelah mendapat wangsit tersebut, lalu sang raja mengadakan musyawarah dengan para kerabatnya dan petinggi kerajaan. Dalam musyawarah tersebut akhirnya diputuskan untuk memanggil Adipati Bagelen (kini ikut wilayah Kabupaten Purworejo) menghadap ke istana. Setelah Adipati Bagelen menghadap, ia diperintahkan untuk mencari jamur yang tumbuh pada batu karang di sekitar pantai selatan. Adipati Bagelen pun berangkat menyusuri pantai laut selatan bersama dua orang abdinya yang bernama Ki Sanglur dan Ki Sanglar.

Singkat cerita, suatu hari sampailah rombongan Adipati di Gunung Karang Kuda (termasuk daerah Karangbolong). Di tempat itu ia bersemedi, namun tidak berhasil mendapatkan wangsit. Selanjutnya, rombongan adipati pindah ke Karangbolong. Ketika bersemedi di Karangbolong ini ia akhirnya mendapat petunjuk dari seorang puteri bernama Dewi Suryawati yang mengaku sebagai anak buah Nyi Roro Kidul, penguasa Laut Selatan. Dewi Suryawati mengatakan bahwa jamur yang selama ini dicari Adipati berada di dalam goa yang letaknya tidak jauh dari tempatnya bersemedi. Sang Dewi juga mengatakan bahwa ia bersedia membantu mengambil jamur tersebut dengan syarat Adipati beserta rombongan harus mengadakan ritual-ritual tertentu dan ketika masuk ke dalam gua tidak boleh menoleh ke belakang. Akhirnya, dengan pertolongan Sang Dewi Adipati Bagelen berhasil memetik jamur yang tidak lain adalah sarang burung walet.

Sarang burung walet itu selanjutnya ia bawa ke Mataram untuk diserahkan kepada raja sebagai obat bagi penyakit Permaisuri. Dan, setelah permaisuri diobati dengan sarang burung walet tersebut, tidak berapa lama kemudian ia menjadi sembuh seperti sedia kala. Atas jasa sang Adipati, Raja Mataram berkenan memberikan hadiah. Namun, hadiah dari Raja Mataram ditolak Adipati Bagelen karena ia telah mengikat janji dengan Dewi Suryawati.

Konon, sang Adipati beserta kedua abdinya kemudian kembali lagi ke Karangbolong. Di sana ia berganti nama menjadi Ki Surti dan menikah secara kebatinan dengan Dewi Suryawati. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Adipati beserta para abdinya bekerja sebagai pencari sarang burung walet. Namun, setelah berkali-kali mengambil sarang burung, suatu saat Ki Sanglur dan Ki Sanglar melanggar pantangan Dewi Suryawati, yaitu menoleh ke belakang. Mereka pun langsung jatuh ke laut dan tewas seketika. Sejak saat itu Dewi Suryawati tidak mau lagi membantu mengunduh sarang burung walet.

Hal ini memaksa Ki Surti terpaksa meminta bantuan pada bekel Karangbolong yang bernama Ki Napsiah untuk membuat tangga yang nantinya akan digunakan untuk memanjat gua tempat burung walet bersarang. Namun, setelah kerjasama itu berjalan beberapa tahun, timbul nafsu jahat dari Ki Napsiah untuk menguasai goa tempat burung walet bersarang. Ia lalu mencoba membunuh Ki Surti dengan memberi racun pada makanannya. Namun, usahanya mengalami kegagalan karena isterinya sendiri ternyata memberitahukan rencana jahatnya itu kepada Ki Surti.

Suatu ketika, saat Ki Surti akan mengunduh sarang walet, Ki Napsiah melancarkan niat jahatnya lagi. Ia tiba-tiba menyerang dan mendorong tubuh Ki Surti ke jurang yang terjal. Saat Ki Surti hendak menyelamatkan diri, tiba-tiba tubuhnya ditebas oleh Ki Napsiah hingga tewas. Namun, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Ki Surti sempat berucap, “Kapan saja akan aku balas perbuatanmu, bekel Napsiah!”

Mengetahui perbuatan Ki Napsiah yang sangat tercela tersebut, Raja Mataram menjadi marah dan langsung mengambil alih pengelolaan sarang burung walet di wilayah Karangbolong. Oleh raja lokasi sarang burung tersebut kemudian dijual kepada pemerintah Belanda. Dan, untuk mempermudah penarikan hasil sarang burung walet di wilayah Karangbolong, pemerintah Belanda menunjuk seorang Tionghoa yang berdomisili di Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Kebumen untuk melaksanakan pengunduhan secara borongan.

Setelah Indonesia merdeka pengelolaan sarang burung walet diambil-alih dari tangan Belanda, kemudian diserahkan ke Pemerintah Daerah Kebumen. Namun, sayangnya sarang burung walet yang banyak menyumbang penghasilan bagi pemerintah daerah itu ditenderkan kepada perusahaan swasta yang hanya mengejar keuntungan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan. Hal ini menyebabkan unsur konservasi alam kurang mendapat perhatian atau bahkan diabaikan, sehingga dari tahun ke tahun hasil dan keberadaan burung walet dan sarangnya di Karangbolong semakin menurun. Menyadari kesalahannya, pada tahun 2005 Pemerintah Daerah Kebumen meniadakan sistem tender dan mengusahakan sendiri pengunduhan sarang burung walet sebagai pendapatan asli daerahnya.

Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Telibat dalam Upacara
Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara ngunduh sarang burung walet di Karangbolong juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai berikut: (1) tahap selamatan di paseban (pendapa) kantor Dipenda Karangbolong; (2) tahap pementasan wayang kulit di Goa Contoh; (3) tahap melarung sesajen di Pantai Karangbolong; (4) tahap kenduri atau selamatan di rumah mandor pengunduh sarang burung walet; dan (5) tahap selamatan di pos penjagaan sarang burung walet. Sebagai catatan, upacara ngunduh sarang burung walet di daerah Karangbolong dilaksanakan empat kali dalam satu tahun yang jatuh pada mangsa karo sekitar bulan Agustus (unduhan pertama), mangsa kapat sekitar bulan Oktober (unduhan kedua), mangsa kepitu sekitar bulan Januari (unduhan ketiga), dan mangsa kasanga yang jatuh sekitar bulan Maret (unduhan keempat).

Pemimpin dalam upacara ngunduh sarang burung walet ini bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan. Pada tahap selamatan di paseban kantor Dipenda Karangbolong, yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah kepala unit Dipenda Karangbolong. Kemudian, yang bertindak sebagai pemimpin upacara saat mengadakan pementasan wayang kulit di Goa Contoh dan melarung sesaji di Pantai Karangbolong adalah Ki Dalang Sayut Hadisutopo. Sedangkan, yang bertindak sebagai pemimpin upacara tirakatan di rumah mandor dan pos penjagaan sarang burung walet adalah mandor pengunduh sarang burung walet sendiri.

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara adalah: (1) para aparat Desa Karangbolong; (3) beberapa kelompok kesenian yang ada di wilayah Karangbolong; dan (4) warga masyarakat lainnya yang membantu menyiapkan perlengkapan upacara maupun menyaksikan jalannya upacara.

Jalannya Upacara
Menjelang waktu pengunduhan tiba, mandor pengawas sarang burung walet mengajukan anggaran ke kantor unit Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kebumen yang ada di Karangbolong. Kemudian, unit tersebut meneruskannya ke pemerintah Kabupaten Kebumen, dalam hal ini Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) untuk meminta dana bagi pelaksanaan upacara ngunduh sarang burung walet. Setelah disetujui dan dana turun, maka mandor beserta anak buahnya segera menggunakan dana tersebut untuk membeli peralatan dan perlengkapan upacara, seperti: seekor kerbau, ayam jantan yang masih muda, beras, bunga-bungaan, kemenyan, dan lain sebagainya.

Setelah peralatan dan perlengkapan upacara telah siap, kerbau yang telah dibeli disembelih di rumah mandor, kemudian dagingnya dibawa ke pendopo kantor Dipenda yang ada di Karangbolong, pos penjagaan yang berada di atas goa tempat burung walet bersarang, dan ke rumah mandor sendiri untuk dimasak. Selain kerbau, peralatan dan perlengkapan upacara lainnya juga dibawa ke tiga tempat tersebut untuk diolah dan dimasak.

Selesai memasak, siang harinya sekitar pukul 13.00 diadakan upacara di pendopo kantor Dipenda Karangbolong yang dihadiri oleh kepala unit Dipenda Karangbolong, Kapolsek, Danramil, dan para karyawan (pengunduh) sarang burung walet. Pelaksanaan upacara di tempat ini berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari kepala unit Dipenda Karangbolong, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh sesepuh sikep (pengunduh yang paling tua) dan diakhiri dengan makan bersama.

Selanjutnya, para peserta upacara akan menuju ke Goa Contoh yang letaknya sekitar 1,5 kilometer dari kantor Dipenda dengan kendaraan yang telah disiapkan sebelumnya. Sesampai di Goa Contoh yang berada di Pantai Karangbolong mereka segera menata peralatan wayang kulit yang akan dimainkan di tempat itu. Peralatan wayang kulit yang dibawa untuk dimainkan di Goa Contoh tidak begitu banyak jumlahnya (sekitar 10 karakter wayang), karena hanya berlangsung sekitar dua jam saja. Pagelaran wayang tersebut dimainkan oleh Ki Dalang Sayut Hadisutopo yang mengambil lakon Rama Tambah (Dewi Sri Lampet). Selesai pementasan, Ki Dalang Sayut Hadisutopo bersama beberapa orang peserta upacara langsung menuju ke Pantai Karangbolong untuk melarung sesajen yang berupa: kelapa muda, jenang abang-putih, kembang telon dan lain sebagainya.

Malam harinya, sekitar pukul 18.30 diadakan lagi kenduri atau selamatan di rumah mandor yang hanya dihadiri oleh aparat Desa Karangbolong, serep (anak buah mandor), dan warga masyarakat sekitarnya. Pelaksanaan upacara di rumah mandor ini juga berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan beserta ujub dari mandor, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin Desa Karangbolong dan diakhiri dengan makan nasi tumpeng bersama.

Dalam upacara selamatan di rumah mandor ini disediakan juga sesajen yang jumlahnya 66 macam, yaitu: degan (kelapa muda), gedang raja ijo (pisang raja hijau), rokok sintren atau siong (terbuat dari tembakau, kemenyan, klembak), rokok filter, kembang menyan (bunga dan kemenyan), pengilon kumplit (cermin, sisir, dan minyak wangi), lintingan pakai candu (gedang katiwawar dirajang dipe = pisang katiwawar diiris-iris kemudian dijemur), rokok duwet golong (uang yang digulung seperti rokok), gula batu, sambelan, jenang abang-putih, telur ayam, krawu ketan (ketan yang dicampur dengan ampas kelapa), gimbal ketan, mbako candu (daun katiwawar dijemur sampai kering kemudian dilinting/digulung pakai klarasa/daun kering pisang raja atau pisang gabu atau juga pisang klutuk wulung), lombok abang, brambang, bawang (cabe merah, bawang merah, bawang putih), duwit kricik (uang logam), beras abang (beras merah), gedang ambon loro mentah mateng (pisang ambon dua biji belum masak dan sudah masak), buah asam, jeruk werangan, pepesan katul, lenga duyung (minyak wangi cap ikan duyung), tetel abang putih (tetel merah putih), gula kelapa, kembang telon, parem gadung, kembang biasa, wedang kopi manis, wedang kopi pahit, wedang teh manis, wedang teh pahit, wedang arang arang kambang, wedang jembawuk, wedang bening, wedang asem, komoh kembang (air putih dicampur gula pasir dan diberi bunga), kolak pisang mas, godong (daun) tawa dimasukkan dalam gelas, jangan (sayur) mie, jangan (sayur) suun, tempe, peyek kacang brul (kacang tanah), peyek gesek (ikan asin), peyek kacang tholo, krupuk, karag (krupuk dari ubi kayu), telur ceplok, srundeng, bregedel, nasi rames, nasi biasa, iwak (ikan) digoreng asin, iwak digoreng adem (tawar/tidak asin), iwak disemur asin, iwak disemur adem, gadon, didih asin, didih adem (tidak asin), kare, tegean (sayur bening), jeroan asin, jeroan adem, ikan bandeng, lalaban. Sebagai catatan, sesajen tersebut harus lengkap, sebab apabila kurang dipercaya dapat mengakibatkan proses pengunduhan menjadi tidak lancar.

Setelah itu, peserta upacara menuju ke kantor Dipenda Karangbolong untuk menyaksikan pergelaran wayang kulit yang dibawakan oleh Ki Dalang Sayut Hadisutopo. Pergelaran wayang kulit di pendopo atau paseban Dipenda Karangbolong ini menggunakan peralatan wayang lengkap karena berlangsung semalam suntuk. Namun, tidak seperti pementasan-pementasan wayang kulit lainnya, pementasan wayang kulit yang merupakan rangkaian dari upacara ngunduh sarang burung walet ini mempunyai pantangan-pantangan tertentu yang harus ditaati. Pantangan-pantangan tersebut diantaranya adalah: tidak boleh ada tokoh atau karakter wayang yang meninggal dalam lakon atau cerita yang dibawakan dan tidak boleh berbicara saru dan sembrono walaupun sedang mementaskan adegan lawakan atau gara-gara.

Pagi harinya, sekitar pukul 07.00 WIB, mandor beserta beberapa anak buahnya menuju ke pos penjagaan sarang burung walet yang berada di atas bukit di tepi Pantai Karangbolong. Mereka berjalan kaki sejauh dua kilometer melalui jalan setapak yang kondisinya naik-turun dan relatif licin dengan membawa peralatan termasuk sesajen dan makanan yang akan digunakan untuk mengadakan selamatan. Selama dalam perjalanan rombongan beberapa kali berhenti untuk menaruh sesajen di tempat-tempat yang dianggap angker yang jumlahnya relatif banyak (lebih dari sepuluh tempat). Setelah sampai di pos jaga mereka segera mengadakan upacara selamatan. Dalam upacara ini mandor menyampaikan ujubnya, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa dan diakhiri dengan makan bersama.

Selesai selamatan di pos jaga, mandor beserta anak buahnya kembali lagi ke pendapa Dipenda Karangbolong untuk mempersiapkan peralatan mengunduh, seperti tangga yang terbuat dari rotan, galah bambu, tali-temali dan lain sebagainya. Setelah segala peralatan mengunduh siap, pihak Dipenda Karangbolong, mandor sarang burung, sortir, gandhek, sikep, dan bantu kemudian mengadakan rapat lagi untuk menentukan waktu yang tepat bagi pelaksanaan pengunduhan sarang burung walet.

Apabila sudah ada kesepakatan kapan waktu yang tepat untuk mengunduh sarang burung, maka selepas magrib diadakan upacara sekali lagi. Setelah itu, peserta akan menuju ke pendopo Dipenda untuk menyaksikan pertunjukan kesenian tayub (tayuban). Dan, dengan dipentaskannya kesenian tayub di pendopo (paseban) itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara ngunduh sarang burung walet di Desa Karangblong.

Nilai Budaya
Upacara ngunduh sarang burung walet di Karangbolong, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat, makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.

Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.

Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.

Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat perlindungan, keselataman dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan.

Sumber:
Sujarno. 2008. “Upacara Ngunduh Sarang Burung Walet di Karangbolong”, dalam Patrawidya Vol. 9 No. 1. Maret 2008. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
uun-halimah.blogger.spot