Kamis, 25 Maret 2010

i
KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya kami dapat menyelesaikan Laporan Penelitian Tinggalan Budaya: Bidang Kesenian tahun 2007. Penelitian ini dimaksudkan untuk melestarikan kesenian yang hampir punah dan diharapkan dapat dibangun, dibina, dikembangkan, dan dimanfaatkan sebagai salah satu aset budaya bangsa Indonesia. Penelitian ini sebagai salah satu upaya untuk memberikan perhatian dan dukungan atas kondisi kesenian tradisional yang terpinggirkan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penyusunan program-program pelestarian terhadap kesenian tradisional, agar dapat dilakukan rekonstruksi dan revitalisasi. Dengan demikian tinggalan budaya tersebut dapat kembali eksis dan memberikan warna atau ciri khas kekayaan budaya bangsa Indonesia. Peran serta para generasi muda sangat menentukan untuk mengenali dan menjaga budaya sendiri, sehingga termotivasi untuk mendukung pelaksanaan pelestarian tinggalan budaya di Indonesia. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yang berbeda, yaitu:
1. Kesenian kothek lesung di Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah.
2. Kesenian pada komunitas Bissu di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan.
Keberhasilan penelitian ini tidak lepas dari dukungan beberapa pihak terkait. Atas segala bantuan dan kontribusi semua pihak yang telah terlibat dalam penelitian ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kami menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan masukan dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan laporan ini. Kami berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang membutuhkan. Semoga karya sederhana ini dapat melengkapi pengetahuan kita tentang kesenian tradisional sebagai aset tinggalan budaya. Jakarta, 2007 Penulis R.R. Nur Suwarningdyah
ii
DAFTAR ISI Kata Pengantar i Daftar Isi ii Abstraksi iv PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Batasan Masalah 2
C. Tujuan 2
D. Ruang Lingkup 3
E. Kerangka Pemikiran 3
F. Terminologi 7
G. Metodologi Penelitian 7
KESENIAN KOTHEK LESUNG A. Lokasi Penelitian Kesenian Kothek Lesung 10 B. Bahan Baku Alu dan Lesung 13 C. Teknis Pembuatan Lesung 14 D. Non Teknis Pembuatan Lesung 17 E. Kothek Lesung sebagai Instrumen Upacara Ritual 18 F. Jenis Kothekan Lesung 24 G. Lesung sebagai Peralatan Vital pada Masanya 27 H. Perbedaan Aktivitas Menumbuk Padi dengan Kothek Lesung 30 I. Relasi Antar Mitos 34 KESENIAN KOMUNITAS BISSU A. Lokasi Penelitian Kesenian Komunitas Bissu 44 B. Bissu bukan Calabai Biasa 45 C. Bissu dan Persyaratannya 48 D. Kesenian pada Komunitas Bissu 53 E. Bissu dan Lingkungan Sosialnya 59 ANALISIS A. Terjadi Kelangkaan Kesenian Tradisional 66
iii
B. Transformasi Pengetahuan dan Regenerasi Tidak Terjadi dengan Baik 68 C. Kesenian Tradisional dan Elemen Pendukungnya 69 D. Upaya Pelestarian Kesenian Kothek Lesung dan Kesenian pada Komunitas Bissu 72 PENUTUP A. Kesimpulan 75 B. Rekomendasi 76 Daftar Pustaka 78 Penulis 79 Narasumber 80
iv
ABSTRAKSI Kesenian tradisional merupakan salah satu perwujudan jati diri bangsa Indonesia yang dapat memberikan gambaran kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu salah satu upaya untuk menunjukkan jati diri bangsa Indonesia adalah dengan melestarikan kesenian tradisional. Penelitian Pelestarian Tinggalan Budaya: “Kesenian” ini difokuskan pada dua jenis kesenian tradisional yang hampir punah, yaitu: kesenian kothek lesung di Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah, dan kesenian pada komunitas Bissu di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Kedua jenis kesenian di atas muncul pada budaya masyarakat agraris. Pada kesenian kothek lesung, pada awalnya lesung adalah sebagai sebuah alat untuk memproses padi menjadi beras. Lesung kemudian berkembang menjadi sebuah media yang mempunyai nilai-nilai simbolik di dalamnya, dan akhirnya tercipta pula sebuah permainan seni musik yang disebut kothek lesung. Sedangkan kesenian pada komunitas Bissu muncul karena peranan pemimpin spiritual Bugis kuno, yang disebut Bissu, terhadap upacara-upacara yang berkaitan dengan pertanian (seperti Mappalili dan Maggiri) maupun daur kehidupan manusia. Permasalahan yang mengancam eksistensi kesenian kothek lesung adalah sudah tidak digunakannya lesung sebagai alat penumbuk padi, digantikan oleh mesin penumbuk padi. Permainan kothek lesung yang selalu menyertai aktivitas menumbuk padi pun sedikit demi sedikit semakin ditinggalkan masyarakatnya. Sedangkan permasalahan yang mengancam eksistensi komunitas Bissu adalah hilangnya sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan yang pada masa lalu menopang kehidupan kaum Bissu, pemahaman agama yang memarginalkan Bissu karena dianggap kaum waria (transgender).
Upaya pelestarian kesenian kothek lesung adalah dengan melibatkan tiga elemen masyarakat, yaitu kreativitas yang diciptakan oleh seniman atau pelaku seni kothek lesung, dukungan pelestarian dan pengembangan dari pemerintah selaku pembina
v
dan pengelola seni, serta hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat selaku penikmat seni. Pada kesenian komunitas Bissu, telah dibentuk lembaga adat untuk memelihara pusaka-pusaka Arajang. Sementara Pemerintah Kabupaten Pangkep telah memberikan perhatian dengan membangun rumah adat dan memperkenalkan kesenian komunitas Bissu kepada masyarakat mancanegara, sehingga dapat membangkitkan kembali praktik-praktik kesenian yang dilakukan oleh para Bissu, sekaligus media untuk regenerasi komunitas Bissu.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tinggalan budaya merupakan saksi sejarah perjalanan bangsa Indonesia mulai dari jaman ke jaman dengan berbagai kondisi perkembangan dunia. Salah satu prioritas dalam pembangunan nasional adalah pelestarian (perlindungan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengembangan) terhadap warisan budaya sebagai aset bangsa yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan ekonomi. Kesenian merupakan salah satu perwujudan jati diri bangsa Indonesia yang mempunyai ciri khas dari gambaran kehidupan masyarakat Indonesia dari berbagai etnik.
Penelitian ini dititikberatkan pada kesenian atau seni tradisi yang hampir punah atau mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya, yaitu pada kesenian tradisional. Maka pada penelitian ini sebagai fokus penelitiannya adalah mengenai kesenian kothek lesung di Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah, dan kesenian pada komunitas Bissu di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Kedua bentuk kesenian ini dipilih dikarenakan adanya ancaman kepunahan. Faktor-faktor eksternal dan internal tentunya mempunyai peran penting dengan kondisi kesenian yang terancam punah tersebut, yaitu perlunya dukungan dari berbagai pihak baik yang berasal dari dalam maupun dari luar lingkup di mana kesenian itu hidup dan berkembang.
Mengingat kesenian di Indonesia merupakan salah satu kekayaan dan aset bangsa yang memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain, maka lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan mempunyai kewajiban untuk melakukan penelitian pelestarian tinggalan budaya pada bidang kesenian. Oleh karena itu sangat perlu untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab keterpurukan kondisi kesenian tersebut.
Atas dasar kondisi keterpurukan kesenian tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk menjembatani permasalahan-permasalahan serta menemukan solusi pelestarian terhadap kesenian tersebut. Hal ini dikarenakan kesenian mempunyai andil besar dalam memperkokoh ketahanan budaya, serta dalam membentuk masyarakat yang berbudaya.
2
B. BATASAN MASALAH
Peranan kebijakan pemerintah dan kepedulian masyarakat sangat menentukan kelangsungan hidup sebuah bentuk tradisi kesenian untuk tetap hidup dan berkembang. Masing-masing komponen pemerintah, masyarakat, pewaris/ ahli waris, kaum agamawan, dan budayawan, mempunyai peranan sendiri-sendiri, namun saling terkait dalam upaya pelestarian suatu tinggalan budaya. Terjadinya kepunahan atau terpuruknya bentuk kesenian kothek lesung di Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah dan bentuk kesenian di dalam komunitas Bissu di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana peranan masing-masing komponen, baik pemerintah maupun masyarakat terhadap pelestarian tinggalan budaya. Sehingga perlu diketahui hal-hal sebagai berikut. 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi eksistensi sebuah kesenian daerah sehingga mengalami pergeseran eksistensinya sampai mengalami proses kepunahan? 2. Sejauh mana masyarakat menjadikan kesenian sebagai bagian dari kehidupannya? 3. Bagaimana sikap masyarakat terhadap keberadaan kesenian yang sedang mengalami proses kepunahan? Apakah mendukung atau menolak keberadaan kesenian tersebut? 4. Solusi apa yang dapat digunakan untuk mendukung pelestarian kesenian yang hampir punah sebagai tinggalan budaya?
C. TUJUAN
1. Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dan solusi apa yang akan dilakukan dalam upaya pelestarian budaya khususnya pada kesenian tradisional yang hampir punah atau terpuruk keberadaannya;
2. Menjaring data yang menggambarkan beberapa fakta untuk dijadikan sebuah dokumentasi yang dapat dipergunakan untuk melihat kembali bentuk sebuah kesenian yang hampir punah secara utuh, dengan disertai kisah sejarah, kemudian diberikan kembali kepada masyarakat untuk dapat diterima kembali keberadaannya dan dilestarikan;
3
3. Tersusunnya rekomendasi dan usulan kebijakan dan strategi serta konsep-konsep atau model untuk pelaksanaan perwujudan dari program pelestarian tinggalan budaya pada unsur kesenian sebagai tinggalan budaya yang mempunyai nilai sebagai aset bangsa Indonesia.
D. RUANG LINGKUP
Penelitian Pelestarian Tinggalan Budaya: “Kesenian” ini dilakukan dengan ruang lingkup kegiatan sebagai berikut.
1. Penyiapan bahan-bahan penelitian, pengumpulan data, pengolahan data dengan mekanisme kerja yang ditentukan oleh tim penelitian;
2. Kompilasi data dan analisis data atas dasar data primer dan data sekunder melalui studi kepustakaan, observasi, wawancara, pendokumentasian, kemudian disusun dalam sebuah laporan yang sistematis dan informatif;
3. Menemukenali permasalahan pelestarian kesenian daerah sebagai bahan untuk menyusun terminologi, definisi, pemanfaatan, dan pengembangan tinggalan budaya khususnya kesenian yang hampir punah atau terpuruk. Adapun lingkup wilayah yang akan diteliti adalah melalui observasi intensif di dua daerah yang dianggap representatif pada penelitian kesenian yang hampir punah sebagai identifikasi budaya masyarakat setempat, dan daerah tersebut adalah. 1. Kesenian kothek lesung di Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah; 2. Kesenian Komunitas Bissu di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Propinsi Sulawesi Selatan.
E. KERANGKA PEMIKIRAN
Kesenian dapat tumbuh dan berkembang karena dipengaruhi oleh masyarakat dan lingkungan di mana kesenian itu berada, misalnya kesenian lesung dan kesenian dalam komunitas Bissu. Kesenian lesung hadir karena adanya budaya masyarakat agraris, yaitu lesung sebagai sebuah alat untuk memproses padi menjadi beras. Lesung kemudian berkembang menjadi sebuah media yang mempunyai nilai-nilai simbolik di dalamnya. Dengan kata lain, pada teknologi menumbuk padi dengan lesung tercipta
4
pula sebuah permainan yang dikategorikan sebagai seni musik, yaitu kothek lesung. Lesung bukan hanya sekedar sebuah alat yang menghasilkan musik, yang dikenal dengan istilah kothekan lesung, namun juga sebagai alat vital untuk menumbuk padi pada masanya. Oleh karena itu lesung berkaitan dengan kehidupan masyarakat agraris atau masyarakat petani. Dalam upaya mendekati persoalan ini, teori-teori ekologi kebudayaan dapat dipergunakan untuk menjelaskan berbagai gejala yang menyertai keberadaan kesenian kothek lesung. Beberapa teori yang digunakan, antara lain: Clifford Geertz tentang fenomena masyarakat petani di Jawa (involusi pertanian), Robert Michael Dove dalam melihat sistem perladangan pada masyarakat Dayak, dan Roy Ellen dalam melihat sistem pertanian suku bangsa di Pulau Naolu (Maluku). Andrew Vada ketika meng-counter hipotesis Clifford Geertz tentang sistem pertanian di Jawa, sering dijadikan pijakan dalam menganalisis fenomena kebudayaan, seperti yang disampaikan oleh Marvin Haris dan Leslie White, yang semuanya berpijak pada Cybernetics Theory dari Talcot Parson. Di dalam Cybernatics Theory, Talcot Parson menciptakan empat kebutuhan fungsional manusia, yaitu: adaptation, goal attainment, integration, dan latern pattern maintenance (AGIL). Adaptation, yaitu individu harus dapat beradaptasi dengan dunia sosial sekelilingnya. Goal Attainment, yaitu individu memiliki prioritas tujuan dalam bermasyarakat. Integration, yaitu kelangsungan hidup ditentukan oleh bagaimana individu bermasyarakat. Sedangkan latent pattern maintenance, yaitu bagaimana individu bisa merawat hubungan sosial agar tetap terjaga, kemudian sistem sosial tersebut juga dengan teori cybernetics (kumpulan artikel sosial, ekonomi, dan budaya, yoyokemo.blogspot.com).
Di dalam suatu lingkungan (environment) akan muncul suatu teknologi yang sesuai dengan lingkungannya dan berpengaruh dalam kehidupan sosialnya (social structure). Teknologi dilakukan oleh beberapa orang sehingga menimbulkan sebuah interaksi sosial (socio environment). Di sinilah terbentuk sebuah hubungan sosial individu dengan masyarakat lingkungan dalam suatu waktu. Kemudian pada sebuah pesan dilekatkan masyarakat terhadap kesenian kothek lesung. Meskipun kondisi lingkungan tidak mutlak
5
artinya sebuah kesenian atau budaya adalah sebagai implikasi dari sebuah lingkungan. Keberadaan kesenian kothek lesung ataupun kesenian pada komunitas Bissu adalah terdapat relasi antar individu, bahkan sampai kepada tataran ideologi. STRUKTUR MODEL
Environment Di dalam teori ekologi kebudayaan tidak dapat meninggalkan hal-hal yang berkenaan dengan ciri dari budaya masyarakatnya, yang berpengaruh pada pemahaman masyarakat terhadap kebudayaan (periperol). Di dalam beberapa hal, kesenian yang ada di Jawa selalu dihubungkan dengan keberadaan mitos-mitos, di mana di dalamnya terdapat relasi mitos yang menjadikan sebuah budaya ada. Seperti halnya terdapat mitos-mitos yang menyertai adanya permainan kothek lesung sebagai sebuah bentuk kesenian tradisional masyarakat agraris tersebut.
Permainan lesung merupakan sebuah media di mana para perempuan bertemu untuk menumbuk padi beramai-ramai sambil bersendau gurau dan saling curhat, tetapi adanya kothek lesung juga sebuah simbolisasi dari para perempuan yang selamanya dianggap kaum lemah, ternyata punya kekuatan yang mampu menandingi kekuatan kaum pria. Hal ini inipun banyak mitos-mitos yang menyertai sejarah atau cerita mengenai asal-usul tentang lesung tersebut. Selain itu permainan lesung merupakan sebuah simbolisasi yang menunjukkan bahwa perempuan lebih kuat dari laki-laki, yaitu ketika para perempuan menumbuk padi, maka
.
Socio Environment
Tecno Environment
Super Stucture (Idea)
6
dengan sekuat tenaga dikerahkan sehingga biji padi benar-benar terpisah dari kulit arinya menjadi beras. Seperti dikatakan oleh Abdul Karim Nafsin dan Mita Lidya Alfiandani dalam bukunya berjudul Perempuan Sutradara Kehidupan, di Tangan Dia Masa Depan Dunia, yaitu bahwa: “…wanita merupakan manusia lebih beruntung dibanding laki-laki, karena dia tercipta selangkah lebih hebat. Perempuan dapat melakukan pekerjaan laki-laki tetapi lelaki tidak dapat melakukan pekerjaan perempuan, mulai dari haid, mengandung, melahirkan dan menyusui, bahkan perempuan dalam mendidik anaknya lebih banyak dan piawai dari suaminya (lelaki)” (Alfiandani Mita Lidya, Nafsin Abdul Karim:2005:39).
Berbeda kondisi status sosial seorang lelaki yang berpenampilan perempuan atau waria di Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan, yang juga terkait dengan adanya budaya masyarakat agraris, yaitu adanya upacara ritual sebelum tanam padi yang dipimpin oleh seorang kaum tranvestitisme. Pimpinan upacara dipercaya dari kaum Bissu yang disebut Poang Matowa. Menurut Hesti Puspitosari dan Sugeng Pujileksono dalam bukunya berjudul Waria dan Tekanan Sosial, yaitu bahwa komunitas Bissu atau lelaki yang berpenampilan perempuan tersebut, sebagai manusia yang tergolong dalam kategori:
1. Kaum transgender yaitu kaum yang menentang konstruksi gender yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu laki-laki dan perempuan saja. Pengertian ini adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki atau laki-laki yang suka berpenampilan perempuan dan cenderung menyukai sesama jenisnya atau kaum homoseksual atau kaum transeksual. Transeksual adalah manusia yang cenderung merubah penampilannya seperti lawan jenisnya, baik itu perempuan ataupun laki-laki (2005:9-10). Namun kaum homoseksual atau lesbian tidak selalu cenderung merubah penampilannya.
2. Kaum tranvestitisme adalah sebuah nafsu yang dimiliki oleh manusia untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya atau orang yang hanya akan mendapatkan kepuasan seksualitas, jika memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya. Jenis ini dibedakan ada dua, yaitu laki-laki tulen atau prempuan
7
tulen, yang mempunyai kepuasan berpakaian dan berdandan seperti perempuan. Kaum tranvestitisme ini juga termasuk kaum heteroseksual, karena dapat berbuat normal sebagai lelaki sehingga ketika tertarik dengan lawan jenisnya dan menikah maka mereka akan mendapatkan keturunannya (2005:11-12).
F. TERMINOLOGI
Terminologi dan istilah yang berkaitan dengan penelitian pelestarian tinggalan budaya pada kesenian adalah sebagai berikut.
1. Pelestarian
Pelestarian adalah sesuatu aktivitas atau penyelenggaraan kegiatan melindungi, mempertahankan, menjaga, memelihara, memanfaatkan, membina dan mengembangkan. Pelestarian juga merupakan sebuah proses atau upaya-upaya aktif dan sadar, yang mempunyai tujuan untuk memelihara, menjaga, dan mempertahankan, serta membina dan mengembangkan suatu hal yang berasal dari sekelompok masyarakat yaitu benda-benda, aktivitas berpola, serta ide-ide (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003:146). Adapun kekayaan bangsa yang perlu dilestarikan baik yang bersifat tangible maupun intangible agar tidak dirusak, dicuri, ataupun ditiru oleh bangsa lain, sebagai aset budaya bangsa.
2. Tinggalan Budaya
Tinggalan budaya adalah sebuah karakter budaya milik bangsa yang sudah ada sejak puluhan, bahkan ratusan tahun adanya. Budaya yang dimaksud adalah ciri atau identitas bangsa yang mempunyai rangkaian sejarah perjalanan kehidupan masyarakat sebuah etnis yang mempunyai ciri khas bangsa, yang bersifat baik intangible maupun tangible.
3. Kesenian
Kesenian adalah bagian dari kebudayaan. Contohnya seni tari. Definisi seni tari itu sendiri adalah keindahan gerak anggota badan manusia yang bergerak, berirama, dan berjiwa, atau keindahan bentuk dari anggota badan manusia yang bergerak,
8
berirama, dan berjiwa yang harmonis (Bagong Kussudiardjo:1983:16).
G. METODE PENELITIAN
Penelitian ini lebih ditekankan pada pendekatan kualitatif, karena pendekatan ini lebih mengandalkan kekuatan pengamatan pancaindera untuk merefleksi fenomena budaya. Menurut Suwardi Endraswara dikatakan bahwa (2003:16): “Pendekatan kualitatif adalah lebih kepada pertimbangan pancaindera secara akurat untuk melihat kebudayaan yang cenderung berubah-ubah seiring perubahan jaman. Bahwa tradisi kualitatif cenderung peneliti sebagai pengumpul data, mengikuti asumsi kultural, dan mengikuti data, dengan kata lain penelitian kualitatif budaya lebih fleksibel, tidak memberi harga mati, reflektif, dan imajinatif “. Data primer diperoleh melalui dokumentasi foto dan gambar, kemudian data sekunder diperoleh dengan mencari informasi yang bersumber dari buku-buku, tulisan-tulisan, maupun dari para informan dan narasumber. Analisis data dipergunakan dengan melalui pendekatan deskripsi analisis, yaitu mendeskripsikan hasil penelitian ke dalam kehidupan masa sekarang, kaitannya dengan eksistensi kesenian yang hampir punah.
Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam buku yang ditulis oleh Lexy J Moleong yang berjudul Metode Kualitatif, bahwa metode kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong Lexy J, 2004:14-18). Untuk menjelaskan penelitian ini secara detil dan komprehensif digunakan pendekatan kulitatif dan deskripsi analisis. Metode deskripsi analisis adalah prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan menggambarkan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain), berdasarkan faktor-faktor yang tampak atau sebagaimana adanya (Hadrawi Nawawi, 1983:63). Penelitian deskriptif ini tidak hanya mendiskripsikan sesuatu atau fenomena yang sedang diteliti, tetapi juga mancari makna apa dibalik hasil dari diskripsi tersebut. Metode penelitian yang digunakan untuk kegiatan Penelitian Pelestarian Tinggalan Budaya ini meliputi:
9
1. Pra Survey
Pra survey dilaksanakan dengan mengumpulkan data-data kepustakaan dan mempelajari tulisan-tulisan yang berkaitan dengan obyek penelitian sebagai acuan dalam melakukan kegiatan studi. Acuan atau bahan-bahan yang diperlukan adalah yang berkaitan dengan fokus penelitian yaitu tentang kesenian Kothek Lesung di Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah, dan kesenian dalam komunitas Bissu di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan.
2. Survey
Survey dilaksanakan untuk meninjau lokasi penelitian yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan dari penelitian. Kemudian melakukan koordinasi dengan instansi terkait di daerah yang menjadi lokasi penelitian, yaitu dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisi, serta masyarakat yang terkait langsung dengan tujuan penelitian. Adapun lokasi penelitian ini dilakukan di dua tempat, yaitu di Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa tengah dan Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan.
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan data-data di lapangan dengan cara observasi dan wawancara secara mendalam. Untuk mendokumentasikan hasil observasi, dilakukan pengambilan foto-foto. Di samping itu juga akan dilakukan perekaman dengan audio visual (AV) untuk memberikan gambaran lingkungan dan suasana masyarakat yang dekat dengan kesenian yang diteliti secara utuh, yaitu di lokasi penelitian. Adapun lokasi penelitiannya adalah di Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah, khususnya di wilayah perdesaannya, yaitu yang terfokus pada kesenian Kothek Lesung, dan di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan, khususnya di wilayah desa Bontomatene, yaitu terfokus pada kesenian komunitas Bissu.
Selanjutnya dilakukan wawancara secara mendalam tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tema penelitian,
10
yaitu Pelestarian Tinggalan Budaya: “Kesenian”. Wawancara dilakukan untuk melengkapi data-data yang tidak mungkin diperoleh melalui metode observasi. Sasaran wawancara meliputi elemen-elemen masyarakat maupun pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan masing-masing elemen tersebut memiliki kepentingan dan peranan yang berbeda terhadap pelestarian tinggalan budaya di dua lokasi penelitian ini.
4. Kelompok Diskusi Terarah
Fokus Group Discussion atau kelompok diskusi terarah dilakukan antara anggota tim dengan narasumber, meliputi unsur pemerintah melalui Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya; budayawan; tokoh masyarakat setempat dan pelaku seni. Diskusi ini dilakukan untuk mensinergikan data-data atau informasi-informasi di lapangan dengan menerima masukan-masukan dari instansi maupun pihak-pihak terkait, sebagai masukan untuk penyempurnaan hasil penelitian. Hasil dari kelompok diskusi terarah adalah bahwa:
a. Kesenian kothek lesung masih punya tempat di hati masyarakatnya. Permasalahannya, tidak adanya pembinaan untuk para senimannya, bahan baku mahal, generasi tua tidak punya kesempatan untuk mengajari kepada para generasi muda, dan potensi masih punya peluang dan bisa dikembangkan, butuh bantuan dan dukungan dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakatnya;
b. Kesenian komunitas Bissu dalam kondisi terancam kepunahan, karena terbentur oleh regenerasi yang bertentangan dengan aturan komunitas Bissu, yaitu Bissu tidak boleh menikah, pengetahuan Bissu yang sakral membuat tidak semua orang bisa mengetahui atau mempelajarinya. Marginalisasi dari masyarakat umum kepada komunitas Bissu yang dianggap menyalahi gender, membuat Bissu tidak punya tempat atau hak sama dengan yang lain, walaupun masyarakat masih menyakininya tentang fungsi Bissu dalam sebuah upacara ritual. Hal ini perlu dukungan pemerintah sebagai pengganti sistem kerajaan untuk memikirkan dan membantu keberadaan komunitas Bissu tersebut.
11
KESENIAN KOTHEK LESUNG
A. LOKASI PENELITIAN KESENIAN KOTHEK LESUNG
Secara geografis Kabupaten Kebumen terletak pada 7°27'-7°50' Lintang Selatan dan 109°22'-109°50' Bujur Timur. Kabupaten Kebumen secara administrasi terdiri dari 26 kecamatan dengan luas wilayah sebesar 128.111,50 ha atau 1.28,11 km², dengan kondisi beberapa wilayah merupakan daerah pantai dan pegunungan, sebagian besar merupakan dataran rendah. Luas Kabupaten Kebumen tercatat 39.745,00 ha atau sekitar 31,02% sebagai lahan sawah dan 88,366.50 ha atau 68.98% sebagai lahan kering. Batas wilayah Kabupaten Kebumen adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Barat adalah Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas
2. Sebelah Timur adalah Kabupaten Purworejo
3. Sebelah Utara adalah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara
4. Sebelah Selatan adalah Samudera Indonesia.
Kabupaten Kebumen terdiri dari 26 kecamatan yang terbagi menjadi 11 kelurahan dan 449 desa. Salah satunya adalah Kecamatan Puring. Secara geografis Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah ini terletak pada 147 km dari Kota Yogyakarta, untuk mencapai lokasi ini ada dua alternatif yaitu melewati Kota Kebumen atau melalui jalan Daendels. Jalan Daendels lebih memberikan kelancaran dalam hal bebas hambatan traffict light dibandingkan dengan jalur kota, sehingga menjadikan perjalanan melalui jalur deandels lebih efisin waktu dan irit bahan bakar dibandingkan dengan jalur kota. Kecamatan Puring terletak pada kemiringan lahan datar (0-2%) dengan luas daratan 6.244,63 ha dan luas lautan 8,4 km, dengan batas-batas sebagai berikut.
1. Sebelah selatan adalah garis pantai Samudra Indonesia;
2. Sebelah utara adalah Kecamatan Kuwarasan;
3. Sebelah barat adalah Kecamatan Buayan;
4. Sebelah timur adalah Kecamatan Petanahan.
Kecamatan Puring terdiri dari 23 desa dan sebagai lokasi penelitian ada 7 desa. Ketujuh desa yang dimaksud adalah.
12
1. Desa Surorejan
2. Desa Purwaharja
3. Desa Waluyorejo
4. Desa Banjarejo
5. Desa Kedaleman Wetan
6. Desa Weton Kulon
7. Desa Tambakmulyo
Di Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah, masyarakatnya mempunyai latar belakang budaya agraris, muncullah local genius yang merupakan cerminan budayanya yaitu kesenian Kothek Lesung. Adanya kesenian Kothek Lesung merupakan sebuah proses yang panjang dari sebuah gambaran kehidupan masyarakat perdesaan yang mata pencahariannya bertani. Aktivitas bertanam padi sudah berlangsung dari generasi ke generasi, yang melahirkan teknologi pengolahan hasil panen sebelum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Di daerah perdesaan dalam lingkungan Kecamatan Puring, banyak sekali ditumbuhi pohon-pohon yang berpotensi bagi kebutuhan masyarakatnya. Wilayah Kecamatan Puring sangat dekat dengan daerah pantai, yaitu Pantai Puring, oleh karena itu banyak tanaman pohon kelapa. Mata pencaharian pokok penduduk di Kecamatan Puring adalah bertani. Namun untuk menambah penghasilan tidak sedikit yang memanfaatkan lahan pekarangan dengan menanam singkong dan sayuran. Hasil singkong dijual ke pasar, ada juga yang membuat gula kelapa, getuk lindri, krupuk, srabi, dan lain-lain.
Masyarakat di Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah, mayoritas masyarakatnya bergerak dalam sistem agraris atau bertani, dalam hal ini bertanam adalah aktivitas yang utama. Aktivitas bertanam padi yang berlangsung dari generasi ke generasi ini melahirkan teknologi pengolahan hasil panen sebelum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pelakunya. Mulai dari menyemai benih padi, menanam padi, memanen, mengolah hasil, dan pemanfaatan hasil panen. Maka terjadilah runtutan peristiwa yang merupakan latar belakang munculnya kothek lesung.
Aktivitas menumbuk padi dilakukan oleh kaum perempuan atau ibu-ibu pada umumnya. Ketika padi telah dituai, masyarakat melakukan proses penumbukan padi, kemudian dimasak untuk dimakan bersama keluarga. Oleh karena adanya proses penumbukan padi
13
dengan menggunakan alu dan lesung, maka lahirlah kothek lesung tersebut. Hal ini merupakan sebuah hiburan bagi kaum perempuan, agar supaya tidak terlalu terasa lelahnya pada saat menumbuk padi. Kothek adalah pukulan alu terhadap lesung yang menghasilkan suara atau bunyi yang merdu, sehingga terciptalah seni dari kothekan yang disebut dengan kothekan lesung. Kothek lesung adalah sebuah kesenian tradisional masyarakat agraris dan sebagai media ekspresi keceriaan pelakunya bahkan sering juga digunakan sebagai pelengkap dalam upacara ritual. Kothek lesung merupakan salah satu jenis kesenian tradisional dengan instrumen lesung dan alu yang terbuat dari batang pohon kelapa (glugu) sebagai alat pemukulnya. Secara jelas kesenian kothek lesung melibatkan kaum perempuan, lesung, dan alu.
B. BAHAN BAKU ALU DAN LESUNG
Alu dan Lesung adalah sebuah alat sebagai penghancur padi menjadi beras, yang terbuat dari kayu keras. Biasanya terbuat dari kayu kapurancak (nyamplung), kayu laban, kayu nangka, kayu Jati, dan kayu Manggis. Di perdesaan wilayah Kecamatan Puring banyak terdapat tumbuhan pohon kayu yang potensi untuk dipakai sebagai bahan baku pembuat lesung. Kayu yang banyak digunakan untuk membuat alu dan lesung adalah kayu Kapurancak (Nyamplung), karena harganya tidak begitu mahal (sekitar Rp 500.000,- sampai dengan Rp 1000.000,-), berkualitas dan mudah didapatkan. Kualitas kayu Kapurancak lebih baik dibanding dengan kayu yang lain, kayu kapurancak relatif lembut hasil suara bagus, dan pengerjaan kayu ini tidak membutuhkan tenaga ekstra karena karakternya sebagai kayu yang empuk/lunak.
Kayu nangka sebagai bahan baku pembuat lesung dianggap sebagai bahan baku yang mahal dan karakter kayunya terlalu lunak sehingga kurang bagus bila dibuat lesung. Meskipun hasil suara lesung dari kayu nangka ini sama kelasnya dengan lesung dari kayu Kapurancak (Nyamplung). Nilai jual kayu Nangka cukup bernilai, karena kayu ini juga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk membuat mebel atau furniture.
Kayu manggis juga sebagai bahan baku pembuat lesung. Namun saat ini sudah semakin sedikit kayu manggis dipergunakan sebagai bahan baku membuat lesung. Kayu manggis sudah jarang dipergunakan karena nilai jual buah Manggis lebih mahal dibanding
14
nilai jual kayunya, oleh karenanya lebih baik dijual buahnya daripada dijual kayunya.
Di dalam menentukan untuk memilih pohon sebagai bahan baku pembuat lesung ada kaidah-kaidah yang harus diperhatikan pada masa itu, yaitu menentukan hari atau masa atau waktu, dan melihat kondisi yang akan digunakan hal ini tidak berkaitan dengan unsur-unsur magis. Ketika memilih pohon yang akan dipotong, seorang pandai kayu biasanya menghindari masa atau waktu yang dalam kalender Jawa disebut mangsa kawolu, karena mangsa dalam Jawa sangat mempengaruhi kondisi pohon seperti keadaan atau kandungan air dalam pohon, atau musim pohon tumbuh buahnya. Bila jatuhnya pada mangsa kawolu menurut seorang pandai kayu, karakter kayu kapurancak akan mengandung air yang berlebih, sehingga mengakibatkan kayu menjadi sangat lunak dan mudah rusak dan membusuk. Biasanya pada mangsa kawolu ini terjadinya musim hujan lebat. Oleh karenanya untuk membuat lesung jenis kayu yang dipilih harus yang terlihat baik kondisinya yaitu kulit luar pohon bersih dan tidak berjamur (yang biasa nampak bintik-bintik putih). Adapun mengenai ukuran kayu yang baik adalah mempunyai lingkar terluar antara 150 – 200 cm, diukur pada satu meter dari pangkal pohon.
Dahulu untuk membuat alu dan lesung sangat berperan seorang dukun dan tukang kayu. Seorang dukun dipercayai untuk memberikan doa-doanya agar lesung dapat selesai dibuat dan bermanfaat serta pembawa rejeki. Namun untuk saat ini dukun lesung sudah tidak ada, yang ada hanya tukang kayu pembuat lesung saja.
C. TEKNIS PEMBUATAN LESUNG
Proses pembuatan lesung diawali dengan pemilihan jenis kayu yang akan dipakai, kemudian dimulai dengan penebangan pohon yang dipilih. Teknik penebangan pohon ini berbeda dengan penebangan pohon untuk keperluan lain (pembuatan kusen). Bagian yang akan digunakan adalah pangkal batang ke atas dan bagian pangkal akar utama yang menghujam ke bumi, dengan begitu melihat dari bagian yang digunakan, maka pohon harus ditumbangkan mulai dari akarnya, dengan cara menggali tanah di sekitar pohon mengikuti arah tumbuh akar pohon tersebut. Hal inilah yang membuat perbedaan dengan penebangan pohon untuk
15
keperluan lain, karena lesung membutuhkan bagian pangkal pohon yang berada di dalam permukaan tanah. Adapun alat yang dipergunakan adalah antara lain wadung dan pethel (serupa dengan wadung tapi ukurannya kecil).
Setelah pohon digali bagian tanah di bawahnya dan dirasa cukup, untuk merobohkan pohonnya menggunakan tambang yang diikatkan pada batang di atas pohon. Untuk memudahkan tumbangnya pohon, maka akar-akar kecil di bagian tanah bawahnya dipotong dengan alat pethel atau parang. Setelah pohon tumbang, batang yang akan digunakan sebagai lesung dipotong sesuai ukuran yang dikehendaki. Ada cara lain untuk mengukur panjang batang yang akan digunakan yaitu dengan cara melingkari pangkal batang pohon dengan seutas tali yaitu dengan mengelilingi lingkar luar batang pohon. Kemudiaan ukuran yang didapatkan digunakan untuk mengambil ukuran panjang yang dikehendaki, sehingga antara ukuran lingkar pohon yang dihasilkan berbanding lurus dengan panjang batang yang akan dipotong pada bagian atas. Setelah itu bagian yang akan digunakan sudah cukup ukurannya untuk sebuah lesung, maka sisanya dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, atau kusen, sehingga secara ekonomi tidak ada bagian yang terbuang sia-sia.
Alat yang dipergunakan untuk membuat lesung adalah tatah dan ganden (palu besar yang mata palunya terbuat dari kayu, bukan besi). Di dalam pembuatan lesung melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Pengukuran, yaitu yang akan menjadi titik-titik tatah (thethek) dengan cara mengukur seberapa besar ukuran liang tumbuk padi (papan) yang akan dibuat, biasanya panjang sekitar 100 cm dan lebar 20 cm, dengan kedalaman 20 cm, dan kedua liang tumbuk beras yang diinginkan yang disebut lumpang, yaitu lumpang alit (kecil) dan lumpang gedhe (besar);
2. Pengerjaan tatah dimulai dari bagian terluar batang kayu, yaitu bagian yang akan digunakan sebagai bagian bawah, samping kanan, samping kiri, lalu bagian atas.
Pada jaman lesung masih berjaya, dibuat hanya dengan menggunakan pethel, wadung, tatah, dan gandhen (tanpa gergaji sekalipun). Proses pembuatan lesung ini biasanya memerlukan waktu 4-5 hari, namun bagian yang paling banyak memakan waktu adalah pada saat menebang pohonnya, karena dibutuhkan 2-3 hari,
16
sedangkan pengerjaan kayu menjadi lesung relatif singkat antara 1-2 hari. Berkaitan dengan dana, pembuatan lesung pada saat masih eksis dipergunakan sebagai alat penumbuk padi biasanya tidak dibayar dengan uang tapi ditukar dengan sejumlah beras kira-kira sebanyak 5 kg. Namun untuk saat ini biaya pembuatan lesung dengan menganut kaidah-kaidah baru, biayanya sebesar Rp 25.000,-/ hari yang dibayarkan setiap hari.
Lesung sebagai wadah untuk meletakkan padi yang siap ditumbuk. Alat untuk menumbuk adalah alu (tongkat penumbuk), terbuat dari jenis kayu yang berbeda dengan lesung yaitu dari kayu glugu (pohon kelapa). Bentuk alu ini hampir sama dengan tongkat kayu, namun terdapat perbedaan pada pegangan tangannya (danganan), sedangkan ukurannya (panjang dan luas penampang) tergantung pada kebutuhan atau fungsinya dalam menumbuk padi (sosoh, gendhong, dan lain-lain). Pada jaman dahulu biasanya pada saat menumbuk padi, perempuan-perempuan yang ikut membantu pekerjaan seseorang yang punya hajat dengan membawa alu miliknya masing-masing, sehingga ukurannya pun menjadi relatif. Namun ada bentuk lesung yang tidak mempunyai lumpang alit dan lumpang gedhe. Lesung ini biasanya dipergunakan untuk menumbuk ketela pohon untuk dijadikan makanan yang disebut getuk, dan bentuk lesung seperti ini disebut Jolang.
GAMBAR 1. LESUNG
17
GAMBAR 2. JOLANG
D. NON TEKNIS PEMBUATAN LESUNG
Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Cara bercocok tanam pun telah berkembang secara canggih dan cukup rumit. Teknologi pertaniannya cukup tinggi, konsep keselarasan merupakan konsep tradisi yang penting dan mendasar. Seperti halnya dengan masyarakat Jawa yang mempunyai konsep bahwa jagat ini merupakan sesuatu yang besar dan utuh, semua unsur juga ikut menyangganya. Namun jagat itu ada dua macam yaitu jagat gedhe (makrokosmos) dan jagat cilik (mikrokosmos).
Jagat gedhe mencakup semua lingkungan tempat manusia hidup, sedangkan jagat cilik adalah diri dan batin masyarakat itu sendiri. Jagat cilik merupakan jagat yang harus diupayakan terus keselarasannya yaitu hubungan antara batin dan jasmaninya. Jagat cilik sebagai bagian atau unsur dari jagat gedhe juga harus senantiasa selaras adanya. Adapun jagat gedhe menurut pandangan orang Jawa terdiri dari segala macam unsur, baik yang terlihat maupun yang kasat mata. Manusia, tumbuhan, batu-batuan, sungai, gunung, dan makhluk gaib seperti roh halus, roh cikal bakal para pendiri desa, adalah unsur-unsur jagat yang berada dalam hubungan keajegan atau mendekati kepada rutinitas, yang berarti pula keselarasan. Keteraturan atau keajegan menurut pandangan orang Jawa berada pada posisi yang tidak sejajar melainkan senantiasa dalam hubungan hirarkis.
Di dalam hubungan sistem kekerabatan Jawa jelas sekali tekanan yang diletakkan pada perbedaan antara yang tua dengan yang muda. Didapatkan informasi bahwa pada jaman dahulu ketika orang hendak membuat lesung, ada aspek-aspek non teknis terjadi,
18
di dalam hal ini adalah unsur-unsur magis yang diluar kemampuan dan alam pikiran manusia. Masyarakat melakukan ritual khusus ketika hendak menebang pohon untuk membuat lesung, hal ini terkait dengan kepercayaan agar dalam proses membuat lesung dapat berjalan lancar tidak ada gangguan dari makhluk gaib atau roh-roh halus. Namun ritual inipun dilakukan bila terjadi sesuatu yang aneh pada pohon yang hendak ditebang, misalnya yang dipercayai adanya makhluk halus yang menjadi penunggu pohon tersebut. Malah lesung yang sudah selesai dibuat kadang justru sebagai sarana pelengkap pada sebuah ritual khusus, misalnya ritual meminta hujan pada Tuhan.
E. KOTHEK LESUNG SEBAGAI INSTRUMEN UPACARA RITUAL
Arti kata kothek adalah hasil suara pukulan yang bergantian atau saling bertautan satu dengan yang lain pada saat proses menumbuk padi. Pada saat menumbuk padi pada jaman dahulu dilakukan oleh 3 sampai 5 orang, namun setelah mengalami perkembangan maka sering dilakukan oleh 7 orang. Kemudian terciptalah sebuah alunan suara yang menimbulkan ritme kothek/pukulan yang bermacam-macam.
Aktivitas masyarakat Puring pada saat menumbuk padi dengan menggunakan lesung dan napeni dengan menggunakan tampah (rekonstruksi Juni 2007, dok. Puslitbang Kebudayaan)
19
Proses selanjutnya adalah memisahkan kulit padi dari isinya dengan menggunakan alat tradisional yang disebut tampah dan proses pekerjaannya disebut dengan napeni. Pada saat napeni tidak memerlukan orang banyak, oleh karena itu beberapa orang yang tidak napeni melakukan permainan dengan memukul lesung sebagai media melepaskan lelah.
Biasanya di dalam masyarakat agraris ada semacam peraturan tidak tertulis mengenai pembagian kerja laki-laki dan perempuan dalam bersawah. Penyiapan lahan (mengairi sawahnya dan mencarikan aliran air, agar sawahnya selalu tergenang) dilakukan oleh laki-laki, sedangkan penanaman benih, menyiangi rumput, dan menghalau burung, dilakukan oleh perempuan. Oleh karena adanya pembagian tugas tersebut maka yang bertugas menumbuk padi pun perempuan, sehingga pemain lesung dilakukan oleh kaum perempuan.
Kegiatan menumbuk padi dan bermain kothek lesung biasanya dilakukan di halaman depan atau halaman belakang rumah, biasanya dekat dengan rumah di mana padi disimpan (lumbung padi). Kothek lesung dapat dimainkan pada waktu siang maupun malam hari dengan sinar terang bulan. Berbagai mitos yang menyertai adanya kothek lesung tersebut antara lain bahwa kothek lesung berhubungan dengan filosofi kesuburan. Bahwa kothek lesung melambangkan bentuk persenggamaan laki-laki dan perempuan, sebagai alu adalah sebagai lingga atau organ sex laki-laki dan lesung sebagai yoni atau organ sex perempuan. Kothek lesung juga banyak digunakan dalam ritual-ritual yang dipercayai oleh masyarakatnya, khususnya sebagai ritual permohonan kesuburan yaitu hasil panen padi yang melimpah, sehingga rakyat menjadi makmur.
Adapun ritual-ritual dalam kegiatan kothek lesung untuk masa sekarang sudah tidak ada lagi, diperkirakan pada waktu dahulu kothek lesung merupakan bagian dari sebuah ritual, seperti hajatan, Muludan, Malem Rolasan, Malem Selikuran, setiap bulan purnama, gerhana bulan, gerhana matahari, Tundhan, dan kematian (khususnya yang meninggal hari Sabtu Wage). Biasanya kothek lesung dimainkan dengan memberikan sebuah isyarat dan sebagai sebuah undangan kepada penduduk desa lain bahwa sedang ada peringatan Muludan. Setelah lesung dimainkan maka masyarakat yang mendengar segera berbondong-bondong ke
20
masjid membawa tenong berisi makanan berupa nasi (sego baok) beserta lauk dan berbagai makanan ringan. Setelah di masjid mereka berdoa bersama mohon keselamatan pada Tuhan, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama pula. Muludan ini dilaksanakan pada tanggal 12 Robiulawal sehingga sering disebut dengan istilah Malem Rolasan.
Pada jaman dahulu biasanya seorang kepala desa pasti mempunyai lesung yang paling besar. Oleh karena itu pada waktu menumbuk padi, tanpa diundang warganya langsung datang membantu menumbuk padi, dan biasanya warganya lebih dari 4 orang. Selain sebagai alat untuk menumbuk padi, dahulu lesung juga berfungsi untuk memanggil anggota keluarga yang berada dari luar rumah. Masing-masing keluarga mempunyai kode sendiri dan selalu berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan suara lesung terjadi karena bahan dan ukuran yang berbeda-beda, sehingga suara yang dihasilkan berbeda pula.
Lesung juga dibunyikan pada waktu terjadi gerhana matahari berupa titir terus-menerus. Maksudnya sebagai pemberitahuan tentang adanya gerhana matahari, supaya masyarakat tidak memandang matahari karena dapat merusak mata. Begitu pula pada saat gerhana bulan, Lesung dititir atau digendhong terus menerus dengan teriakan,”.....grono...grono...bulane ilang... (... gerhana.... gerhana.... bulannya hilang...). Pada waktu gerhana bulan ini dipercaya masyarakat setempat bahwa bulan dimakan oleh nini thowok atau raksasa penghuni bulan. Lesung dibunyikan sebagai pemberitahuan dan perasaan prihatin akan adanya gejala alam. Setelah bulan terang kembali, maka warga memainkan kembali kothek lesung dengan tujuan menghibur anak-anak supaya tidak merasa takut. Pada saat inilah semua warga keluar rumah, untuk berkumpul dengan tetangga, berinteraksi sosial, dan anak-anak bermain di halaman di bawah cahaya bulan.
Selain berperan dalam ritual Malem rolasan, lesung juga berperan dalam ritual Tundhan. Hal ini merupakan mitos yang dipercayai oleh masyarakat di seluruh wilayah Kecamatan Puring. Tundhan dimitoskan sebagai bunyi sahut-menyahut pengiring berupa ombak, angin sebagai bunyi yang ditimbulkan oleh rombongan ghaib bala tentara Nyai Roro Kidul dari arah timur yang akan menghadiri hajatan yang diadakan ratunya (Kanjeng Ratu Kidul mantu). Diceritakan bahwa rombongan Nyai Roro Kidul inilah
21
yang suka menyeret anak yang berada di luar rumah yang dilewati untuk ikut bersamanya, sehingga sebagai tambal (pencegah) dibunyikanlah lesung dengan dititir untuk peringatan. Bunyi ini sahut-menyahut dan baru berhenti setelah warga di bagian barat sudah membunyikan lesung juga. Selain dengan bunyi lesung, biasanya para orang tua mengitari rumahnya dengan klari (daun kelapa kering) yang dibakar agar anaknya tidak terbawa rombongan gaib tersebut.
Tundhan merupakan salah satu teknik permainan kothek lesung.
Lesung juga dibunyikan pada saat ada orang meninggal pada hari Sabtu, hari Sabtu adalah hari tali wange (tali bangkai). Orang yang meninggal pada hari Sabtu dipercaya akan mencari teman untuk mati. Pada saat jenazah diberangkatkan ke makam, maka rumah atau desa yang dilewati oleh iring-iringan jenazah, maka para warganya akan membunyikan lesung dengan cara digendhong sampai iring-iringan sudah selesai melewati. Ritual khusus yang dilakuan pada saat pemakaman yaitu dipakailah potongan alu sepanjang 40-50 cm yang ditancapkan di tanah sebagai paesan atau nisan. Maksudnya adalah karena hari Sabtu adalah sebagai hari ketujuh yang akhirnya kembali lagi kesatu (ahad), sehingga dipakainya alu untuk nisan karena alu berarti satu (dilihat dari bentuknya yang lurus menyerupai angka satu atau ”alif” huruf
22
pertama dalam tulisan huruf Arab). Oleh karena itu diharapkan roh dari jenazah akan kembali menuju Tuhan Yang Maha Esa.
Ritual lain sebagai tambale yaitu pada hari ketujuh kematiannya, dibuat sesaji di sekitar nisan berupa kelapa muda yang dibelah, ikan lele hidup yang diikatkan di nisan alu dengan menggunakan benang lawe, dan kacang hijau yang disangrai (tanpa minyak) sebanyak satu sendok makan sampai satu ons, sedangkan doa yang diucapkan, yaitu agar arwah tidak lagi gentayangan mencari teman mati, sampai kacang hijau tumbuh dan kepadanya disediakan mainan berupa ikan lele hidup. Seperti kita tahu bahwa kacang hijau yang disangrai tadi tidak mungkin tumbuh. Bacaan doanya antara lain: slanam slunum slamet, slatha sluthu selaning garu, sebel puyeng digowo kabeh (keluar masuk selalu selamat, kesana kemari terhindar dari halangan, segala pusing dan penat dibawa semua). Pada hari Sabtu (tali wangke) ini juga ada larangan untuk bepergian jauh karena dipercaya dapat membawa naas.
Penggunaan mesin selep atau huler sebagai teknologi modern untuk menumbuk padi menjadi salah satu faktor yang menggeser fungsi lesung.
23
Lesung berfungsi untuk menghasilkan beras yang siap dikonsumsi, sehingga harus benar-benar dirawat, karena merupakan satu-satunya alat produksi beras sebelum teknologi mesin (selep). Agar lesung awet cara penyimpanannya adalah disimpan di sebuah rumah lesung agar selalu kering dan tidak lembab, maka lesung yang basah tidak berfungsi baik ketika digunakan untuk menumbuk padi karena mengakibatkan lengket. Selain itu juga lesung yang lembab jika digunakan untuk kothekan suaranya tidak bisa nyaring. Rumah lesung biasanya berukuran 3 x 5 meter (tergantung besar kecilnya lesung) yang terletak di luar rumah. Segala aktivitas yang berhubungan dengan lesung biasanya dilakukan di luar rumah lesung ini, karena fungsi sentral ini maka sebagian masyarakat menganggap lesung sebagai benda yang bertuah. Oleh karenanya perlu diberi sesaji yang dilakukan pada malam Selasa Kliwon dan Jum‟at Kliwon, yaitu berupa kembang telon (mawar, kanthil, dan kenanga) dan jenang abang putih yang diletakkan di atas lesung. Kembang mawar kelopaknya menggambarkan cokromanggilingan, dan putiknya mengarah pada sesembahan, yaitu Tuhan. Kanthil kelopak bagian luar menggambarkan habluminannas habluminallah, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan. Bunga kenanga mempunyai lima kelopak dan ada yang enam kelopaknya. Hal ini lima adalah simbol rukun Islam, dan enam adalah simbol rukun iman. Sedangkan jenang abang putih diartikan sebagai cara untuk menghormati sedulur tuwa sedulur enom (kakang kawah adi ari-ari) yang menyertai manusia ketika dilahirkan. Ada juga yang mengartikan bahwa abang menggambarkan darah, dan putih menggambarkan sperma yang merupakan asal dari kehidupan manusia.
24
Rumah lesung yang sudah beralih fungsi sebagai tempat
menyimpan kayu bakar
Adat atau kepercayaan tersebut lambat laun menjadi menghilang seiring adanya anggapan bahwa sesaji yang dilakukan merupakan kegiatan musyrik dan tidak bermanfaat. Selain itu juga terjadi pergeseran fungsi lesung yang tergeser oleh selepan, sehingga lesung saat ini hanyalah sebuah kayu biasa yang tidak berfungsi, malah banyak menjadikannya sebagai bahan kayu bakar.
F. JENIS KOTHEKAN LESUNG
Kothek lesung biasanya dimainkan oleh empat orang perempuan, yang masing-masing dipukulkan secara bergantian sehingga menghasilkan bunyi yang ritmis. Ada beberapa jenis lagu atau gendhing atau kothek yang dimainkan yaitu:
1. Kothek siji yaitu birama 2/4 dengan beragam variasi;
2. Kothek loro yaitu birama 3/4;
3. Kothek telu yaitu birama 4/4 yang mempunyai banyak variasi antara lain :
a. Jumantek yaitu bunyi lesung yang dihasilkan sesuai dengan pukulannya (…jumantek jumanjundhong….jumantek jumanjundhong…);
b. Dibalik yaitu kothek telu dengan variasi balikan atau sahut-menyahut;
c. Gendhong pitu yaitu kothek telu dengan variasi gendhong sebanyak tujuh kali.
4. Sekarnangka, istilah jenis kothek ini hanya ada di daerah Kecamatan Puring bagian barat. Kothek ini dianggap cukup sulit
25
dalam memainkannya, karena melibatkan paling sedikit lima orang sehingga lebih banyak kemungkinan kesalahan;
5. Tongtheng, nama ini semata-mata hanya disesuaikan dengan bunyi atau irama yang terdengar;
6. Blangbontak sama dengan tongtheng, nama ini sesuai dengan suara yang dihasilkan;
7. Jaran pengkal adalah jenis irama kothek yang mirip dengan derap langkah kaki kuda, yang melambangkan kejantanan seorang laki-laki;
8. Rebut maru adalah kothek yang menggambarkan kaum isteri yang saling bersaing untuk merebut hati suami yang melakukan poligami;
9. Kucing anjrut merupakan nama lain dari rebut maru. Anjrut/amjrit artinya berteriak keras dan nyaring. Irama kothek yang ramai menggambarkan kegaduhan ketika memperebutkan sesuatu;
10. Plowek adalah irama yang dihasilkan sesuai suara yang dihasilkan (….thek thek plowek…thek thek plowek….), plowek artinya membelah sebuah lubang, yaitu menggambarkan variasi persenggamaan. Pada saat memainkan kothek ini biasanya pemain (perempuan) lesung tertawa dan terkesan malu-malu;
11. Kather artinya menggantung lemas dan irama yang dihasilkan juga sesuai ketukan yang dimainkan (….thek dhung thek therr….thek dhung thek therr…).
Beberapa nama jenis kothek ini memang disesuaikan dengan bunyi atau irama yang dihasilkan (ono matop e), jika ditelusuri lebih jauh maka mengandung makna hubungan antara laki-laki dan perempuan seperti halnya mitos yang mengatakan bahwa lesung dan alu merupakan gambaran alat kelamin laki-laki dan perempuan. Dari semua jenis gendhing atau jenis kothek lesung, ada satu jenis yang dianggap paling sulit dalam memainkannya, yaitu kothek telu gendhong pitu.
26
Pemain kothek lesung dengan antusias dan penuh semangat memainkan permainan kothek lesung, walaupun sebagian telah lanjut usia.
Kothek telu gendhong pitu mengandung makna bahwa manusia setelah mencapai tataran Ikhsan, maka sudah sepantasnyalah untuk menyampaikan ajaran baik kepada orang lain. Kothek telu gendhong pitu dimainkan oleh sedikitnya 5 orang, satu memegang posisi kothek, satu orang nggendhong, satu orang nyodor, dan dua orang sebagai pengoprek. Posisi kothek mengawali permainan dengan 3 kali pukulan di bagian bibir lesung dan 1 kali di dasar lesung dengan tempo tetap. Kemudian diikuti gendhong sebanyak 7 kali atau istilahnya neloni yaitu melengkapi supaya menjadi tiga, atau dengan kata lain melengkapi kothek telu. Selanjutnya diikuti sodor sebagai pengatur tempo irama.
Teknik nyodor berbeda dengan yang lain yaitu alu dalam posisi miring dan ujungnya dipukulkan ke bibir lesung bagian dalam. Setelah itu kedua koprek menyusul dengan pukulan arang kerep. Menurut pelaku kothekan yang paling sulit adalah kothek telu gendhong pitu ini, karena melibatkan banyak pemain dengan teknik nggendhong dan nyodor yang lebih bervariasi, sehingga kemungkinan untuk cambruk (campur tubrukan) menjadi besar. Jenis kothek gendhong pitu biasanya dimainkan pada upacara ritual, misalnya slametan yang melibatkan banyak orang. Hal ini dikarenakan kothek gendhong pitu mengandung makna yang berkaitan dengan tradisi Islam maupun tradisi Jawa. Hal tersebut sudah dilakukan turun-temurun oleh masyarakat di wilayah Puring.
Kothek telu artinya kothek 3, mengandung makna bahwa seseorang bisa disebut santri/santriya setelah melakukan 3 perkara baik, yaitu
27
Islam, Iman, Ikhsan. Islam sebagai dasar keimanan yang akhirnya merujuk pada tingkatan Ikhsan. Islam adalah keselamatan bagi seluruh umat, mempunyai 5 rukun yang harus dilakukan penganutnya yaitu syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji. Iman ada 6 hal yang harus diyakini dan dipercaya, yaitu disebut rukun Iman. Rukun Iman adalah iman kepada Allah, Malaikat, Rosul, Kitab-Kitab, hari akhir, serta Qodlo dan Qodar. Kemudian setelah seorang muslim menjalankan ke-Islamannya dengan benar serta percaya dan taqwa pada keenam rukun iman, yang diimbangi dengan perbuatannya di masyarakat maka sampailah manusia berada pada tataran Ikhsan. Arti Ikhsan adalah suci atau kesucian yaitu suatu kondisi dimana hati yang bersih selalu dikedepankan ketika melakukan sesuatu, baik hubungannya dengan sesama ataupun dengan Tuhan. Sedangkan gendhong pitu mempunyai arti yaitu pitu adalah tujuh yang mengandung makna ada tujuh “wewarah” atau ajaran baik untuk disampaikan, meliputi pitutur (nasehat), pituduh (petunjuk), piwulang (ajaran), piweling (peringatan), piandel (keyakinan), pioleh (hasil), pitulung (pertolongan).
Dilihat dari jumlah angka yang terkandung atau menyertai kothek telu gendhong pitu adalah 3, 5, dan 7. Ke semuanya adalah ganjil, yang jika dibagi bilangan berapapun tetap tetap menyisakan 1 (Tuhan). Secara struktur, kothek telu gendhong pitu dapat digambarkan sebagai berikut:
3
5
1
7
28
Angka 3 mengandung makna Islam, iman, dan Ikhsan, angka 5 menunjukkan jumlah pemain dan rukun Islam, sedangkan 7 adalah wewarah yang ingin disampaikan. Semua akhirnya menuju pada satu Tuhan (manunggaling kawulo gusti), setiap tindakan manusia harus berpijak pada aturan-aturan Tuhan dan semata-mata untuk mendapatkan ridho-Nya.
G. LESUNG SEBAGAI PERALATAN VITAL PADA MASANYA
Aktivitas menumbuk padi aktivitas yang sangat menguras tenaga. Alu yang terbuat dari pohon kelapa (glugu) yang tua beratnya sekitar 2 kg sama berat dengan cangkul. Hal ini menggambarkan aktivitas para permpuan pada waktu itu yang bekerja berat untuk memproses padi menjadi beras. Menumbuk padi sebuah proses kegiatan padi menjadi beras, hal ini melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Tahap awal adalah merontokkan butir padi dari batangnya;
2. Tahap kedua adalah memecahkan kulit padi;
3. Tahap ketiga adalah mengayak (napeni) untuk memisahkan yang sudah menjadi beras dengan yang masih menjadi gabah;
4. Tahap keempat adalah menumbuk kembali padi yang belum terpisah kulitnya.
Aktivitas menumbuk lesung tahap kedua sebelum ditapeni tahap pertama (memisahkan gabah yang sudah terkelupas dengan yang belum terkelupas). (Rekonstruksi Juni 2007, dok. Puslitbang Kebudayaan)
29
Napeni tahap kedua, memisahkan beras dengan bekatul.
Berkaitan dengan jumlah padi yang ditumbuk, tergantung dengan kebutuhan. Ada beberapa istilah berkenaan dengan ukuran padi, yaitu:
1. Batang yaitu batang padi dengan panjang ± 20 cm
2. Selehan yaitu beberapa batang padi yang belum dijemur dan diikat dengan tali
3. Rinci yaitu selehan yang sudah dijemur dan siap untuk ditumbuk
Lamanya pekerjaan menumbuk padi tergantung jumlah orang yang menumbuk. Ada beberapa istilah untuk menyebutkan satu bentuk padi yaitu satu bongkok/ pocong disebut rincen/ rinci. Untuk aktivitas sehari-hari menumbuk padi biasanya dilakukan 3 hari sekali dan banyaknya tergantung dengan jumlah keluarga. Untuk 1 rinci yang beratnya 3 kg, akan menghasilkan padi sebanyak 1,5 kg – 2 kg. Untuk menumbuk padi dalam lesung dengan dengan ukuran 1,5 m, maka akan dibutuhkan kurang lebih 3 rincen. Untuk menumbuk 1 ikat padi (sarinci) dengan 3 orang penumbuk, maka waktu yang dibutuhkan kurang lebih 1 jam. Sementara kalau hanya 1 orang bisa memakan waktu sampai 3 jam. Sedangkan untuk keperluan hajatan biasanya dilakukan dengan mempersiapkan dari jauh hari, sedikit demi sedikit (nyicil), sebulan sebelumnya setiap hari. Dilakukan dengan dibantu oleh para kerabat dan tetangga secara bergantian (sambatan). Sebuah aktivitas sosial ketika beberapa orang berinteraksi dalam suatu waktu untuk melakukan aktivitas yang mempunyai kesamaan tujuan yang sudah disepakati bersama. Para
30
penumbuk padi tersebut melakukan aktivitas bersama untuk keperluan hajatan bagi salah satu anggota warga, hal ini merupakan fenomena solidaritas sosial yang ada pada masyarakat agraris.
Pada saat aktivitas menumbuk padi terjadilah interaksi sosial antara para perempuan bahkan di antara mereka pun ada yang saling bertukar pengalaman. Aktivitas menumbuk padi menjadi sebuah media untuk bersosialisasi para penumbuknya, kemudian diwujudkan dalam sebuah komposisi irama dalam menumbuk padi yang memunculkan jenis-jenis pukulan atau kothekan. Aktifitas bertanam padi yang berlangsung dari generasi ke generasi melahirkan teknologi pengolahan hasil panen sebelum dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Mulai dari menyemai benih padi, menanam benih, memanen, mengolah hasil, dan memanfaatkan hasil merupakan sebuah rangkaian kegiatan yang merupakan latar belakang munculnya kothek lesung.
Kothek lesung merupakan aktivitas untuk menghibur masyarakat khususnya di wilayah Kecamatan Puring pada saat mengolah padi pada masa dahulu. Ketika padi telah dituai, maka masyarakat melakukan proses penumbukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari atau sebagaian untuk dijual. Di dalam proses penumbukan inilah peran lesung sangat eksis, sehingga lahirlah kothek lesung. Kebutuhan para pekerja akan sesuatu yang menghibur menuntun mereka pada sebuah pemikiran (improvisation) kepada alat bunyi yang menghasilkan ritme unik yang mampu melepaskan penat saat bekerja dengan suasana yang santai dan kekeluargaan.
Kothek lesung merupakan salah satu jenis kesenian tradisional di Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, serta Kabupaten Banyumasan dengan instrumen utama berupa lesung (kayu keras: kayu kapurancak) dan alu yang terbuat dari batang pohon kelapa (glugu) sebagai alat pemukul. Kesenian kothek lesung merupakan aktivitas yang dilakukan di daerah agraris karena terkait dengan produksi padi menjadi beras, dan Indonesia merupakan negara agraris. Sehingga kothek lesung hampir di setiap daerah ada dengan nama yang berbeda misalnya di DIY dikenal dengan gejog lesung, di Sunda, Jawa Barat dikenal dengan ngagondhang, di Makassar, Sulawesi Selatan dikenal dengan Mapadendang yang biasa dimainkan untuk upacara penyambutan tamu, di Palembang,
31
Sumatera Selatan, dikenal dengan Balesung, dan di Toraja, dikenal dengan Ma‟badung.
H. PERBEDAAN AKTIVITAS MENUMBUK PADI DENGAN KOTHEK LESUNG
Ada perbedaan tujuan dari aktivitas menumbuk padi dengan aktivitas bermain kothek lesung. Menumbuk padi merupakan aktivitas yang ditujukan untuk memisahkan padi dengan kulitnya. Tujuannya untuk menghasilkan beras untuk kebutuhan hidup. Sedangkan kothek lesung adalah salah satu aktivitas menghasilkan komposisi bunyi dari benturan alu dan lesung. Tujuannya untuk menghibur diri atau merayakan upacara yang bermakna religi. Kedua aktivitas yaitu menumbuk padi dan kothek lesung biasanya dilakukan di omah lesung (lumbung padi). Rumah yang terpisah dengan rumah utama, biasanya terletak di samping rumah utama.
Tabel 1.
Korelasi antara Aktivitas Menumbuk Padi
dan Seni Kothek Lesung
Keterangan
Menumbuk Padi
Seni Kothek Lesung
Bentuk Aktivitas Pelaku Waktu melakukan Tujuan Aktifitas
Memisahkan padi dengan kulitnya. Satu orang atau lebih. Setiap hari atau 3 hari sekali. Produksi padi menjadi beras.
Memainkan komposisi bunyi yang dihasilkan oleh ketukan alu pada lesung. Minimal 3 sampai 5 orang. Pada waktu senggang atau pada hari-hari utama misalnya muludan, likuran, slametan, dan sebagainya. Mengisi waktu senggang, pelengkap ritual.
Fenomena ini akan lebih menarik ketika mencermati jenis-jenis kothek lesung dan makna ataupun ekspresi pemain ketika memainkannya. Mulai dari kothek plowek, kather, gendhong pitu,
32
rebut maru, dan sebagainya adalah interaksi sosial dan komunikasi antara para pemain. Interaksi sosial atau komunikasi yang dibicarakan biasanya mengenai hal-hal spiritual, perlawanan, ataupun gambaran tentang kenikmatan bersenggama dengan istilah-istilahnya. Kothekan tersebut dilakukan secara lepas tanpa beban dan tidak ada struktur di dalamnya, artinya tidak pemimpin dan para pemain melakukan sebuah ekspresi dengan lepas dan bebas. Hal inilah yang menjadikan kothek lesung sebagai media untuk melepaskan para pemain dalam sebuah struktur atau beban berat yang ada dalam lingkup sosial budaya masyarakat.
Di dalam permainan kothek lesung tidak ada ketukan pasti untuk mengakhiri permainan. Kothek lesung akan berhenti ketika salah satu atau beberapa pemain sudah tidak dapat memukul dengan benar, sehingga mengakibatkan irama kothek lesung menjadi rusak (ora dadi). Hal tersebut disebabkan karena faktor kelelahan ataupun hilangnya konsentrasi para pemain kothek lesung. Masyarakat di kecamatan Puring menggunakan media lesung untuk beberapa aktivitas, yaitu:
1. Menumbuk padi;
2. Menumbuk ketela pohon;
3. Menumbuk kopi.
Menumbuk padi dengan lesung dengan ukuran relatif besar yaitu dengan panjang 2 m dan lebar 20 cm, terdiri dari 2 bagian yang lebar dan lumpang yaitu berupa lubang berdiameter 5 cm. Sedangkan untuk menumbuk ketela pohon menggunakan lesung kecil yang disebut jolang.
Jolang yang digunakan adalah yang berukuran panjang sekitar 1,5 m, lebar 20 cm yang hanya terdiri dari satu bagian saja. Kemudian untuk menumbuk biji kopi yaitu dengan menggunakan lumpang, yang terbuat dari batu atau kayu yang berukuran sekitar 15 cm x 15 cm dengan lubang berdiameter sekitar 7 cm. Aktivitas membuat gethuk dari ketela pohon masih dilakukan sampai sekarang sebagai mata pencaharian selain bertani. Teknologi membuat gethuk dilakukan secara tradisional yaitu menumbuk ketela pohon dengan menggunakan jolang yaitu lesung yang berukuran panjang 1 m x lebar 20 cm. Kemudian dikukus menggunakan seeng (bejana yang digunakan untuk mengukus ketela, dan menanak nasi). Tehnik inilah yang masih menggunakan lesung sampai sekarang, yang dialkukan oleh masyarakat di
33
Kecamatan Puring untuk mendukung aktivitasnya dalam produksi gethuk. Selain membuat gethuk dengan menggunakan lesung ditumbuk pula biji kopi yaitu dengan menggunakan lumpang, dan tetap menggunakan alu sebagai alat penumbuknya. Melihat aktivitas yang begitu padat dan variasi kerja yang dilakukan oleh kaum perempuan desa khususnya di Kecamatan Puring, terutama pada masa penggunaan lesung sebagai alat untuk menumbuk padi. Maka terbukti bahwa mereka kaum perempuan tersebut tidak merasakan beratnya pekerjaan tersebut, karena justru adanya faktor lain yaitu sebagai hiburan pelepas lelah. Di dalam hal inilah kothek lesung berperan sebagai media untuk melepas lelah dan bergembira tanpa dibeban oleh struktur sosial.
Akan tetapi untuk saat ini aktivitas menumbuk padi sudah digantikan dengan menggunakan alat yang dikenal oleh masyarakat yaitu selepan. Seiring dengan munculnya teknologi penggilingan padi yang berupa mesin, maka perlahan kothek lesung semakin menghilang. Hal ini tidak lain karena fungsi utama lesung mulai terpinggirkan oleh mesin yang memang lebih praktis dan efektif dalam hal waktu. Perubahan ini pada awalnya sangat dirasakan oleh masyarakat, khususnya kaum perempuan sebagai pelaku utama. Menumbuk padi dan kothekan merupakan aktivitas sehari-hari untuk mencukupi kebutuhan keluarga akan beras dan sebagai sarana hiburan yang komunikatif itu menjadi hilang. Tidak digunakannya lesung untuk menumbuk padi ternyata diikuti dengan mulai jarangnya lesung digunakan sebagai kothekan. Tradisi ritual seperti likuran, muludan dan slametan yang biasanya menggunakan kothek lesung sudah tidak lagi dilakukan. Lesung pun sudah tidak lagi terawat, bahkan banyak yang dimanfaatkan sebagai kayu bakar atau dijadikan daun pintu rumah.
Kothekan lesung pernah dimainkan ketika diadakan perlombaan dalam rangka peringatan hari Kemerdekaan Indonesia yaitu tanggal 17 Agustus 2003, yaitu dengan acara Festival Kothek Lesung. Sejumlah informasi didapatkan bahwa kothek lesung sudah berangsur-angsur menghilang sejak tahun 1980-an, karena masuknya mesin selepan atau huler.
Pada masyarakat pendukung kesenian kothek lesung, terjadi perubahan sosial di mana perempuan desa lebih merasakan dampaknya daripada laki-laki. Hilangnya salah satu media untuk mengaktualisasikan diri mereka, mengakibatkan perempuan desa
34
berada pada kondisi yang dilema. Di satu sisi mereka merasa beban yang semakin ringan, dengan adanya perubahan teknologi. Di sisi lain mereka juga merasa sepi, karena hilangnya salah satu media untuk melepas lelah dari aktivitas yang sangat berat. Sedangkan dari fenomena variasi jenis kothek lesung merupakan salah satu wujud hasil karya para perempuan desa pada saat itu. Berawal dari sebuah penamaan aktivitas yang bersifat asal, pertanda, akhirnya melahirkan sebuah simbol atau pemaknaan atau penanda. Ketika aktivitas menumbuk padi sudah tidak ada, kesenian kothek lesung terancam punah, maka pekerjaan para perempuan desa beralih aktivitasnya dengan membuat gula aren, melakukan migrasi ke luar daerah, bekerja sebagai pembantu rumah tangga, menjadi pekerja pabrik, berjualan srabi, berjualan gethuk, dan sebagainya.
Akhirnya para wanita penumbuk padi beralih pekerjaan menjadi pembuat gula kelapa sebagai alternatif pekerjaan lain.
I. RELASI ANTAR MITOS
Di dalam setiap masyarakat dan di berbagai suku bangsa, keberadaan mitos sangatlah penting. Setiap ritual ataupun aktivitas kebudayaan seringkali mitos menyertainya. Mitos sebagai science of concrete yang didukung secara kolektif oleh masyarakat yang seolah-olah merupakan sebuah proses historis yang secara nyata terjadi. Seperti yang dikatakan Roland Barthez bahwa mitos adalah
35
suatu sistem komunikasi, sesuatu yang memberi pesan. Baginya mitos bukanlah benda, bukan pula suatu konsep atau gagasan. Selanjutnya mitos adalah suatu cara untuk mengartikan suatu pengertian bentuk. Mitos adalah suatu tuturan (a type of speech) dan semua yang dianggap sebagai wacana (a discourse) dapat menjadi mitos. Mitos dapat juga dikemukakan baik secara lisan, tulisan, ataupun pertunjukkan yang dibaliknya terdapat fungsi simbolik dan fungsi menyatakan. Mitos juga dapat difungsikan untuk melanggengkan kekuasaan seperti Karl Max mengatakan hubungan mytification atau false consciousness, yaitu sekedar mencari dan menghubungkan antara mitos yang satu dengan yang lain dari berbagai variasi dan variannya yang berkenaan dengan lesung.
Hal tersebut menjadi penting seperti halnya yang pernah dilakukan oleh Levi-Strauss yang mengoleksi banyak mitos;…..for interpreting them has made them live again as the subject of intellectual discussion and intellectual growth (James Clifford, Writing Culture,page. 200). Di dalam hal ini dikaitkan atau dicari relasi-relasi yang sama perihal lesung, dan penelusuran mitos dilakukan tidak hanya yang ada di wilayah Puring saja, akan tetapi tidak menutup kemungkinan mitos yang berasal dari lintas daerah di luar wilayah Puring.
Antara lain mitos-mitos yang terkait dengan lesung adalah kisah Joko Tarub, kisah Naga Baru Klinthing, kisah Desa Pasir Kujang, kisah Bandung Bondowoso, kisah Sangkuriang, kisah Tengger, dan sebagainya. Kemudian dari beberapa cerita tersebut di atas, dapat diambil benang merah yang terkait dengan mitos tentang lesung. Ternyata dari beberapa cerita atau legenda terciptanya suatu tempat, secara langsung maupun tidak langsung melibatkan lesung sebagai medianya. Kisah Naga baru Klinthing berakhir dengan terjadinya Rawa Pening yang berada di daerah Ambarawa Jawa Tengah. Kemudian tentang Candi Prambanan di Yogyakarta tercipta dari usaha Bandung Bondowoso untuk meminang Roro Jonggrang. Begitu juga Sangkuriang yang terkutuk menjadi Gunung Tangkuban Perahu karena mencintai ibu kandungnya yang hendak dinikahi. Sehingga dari kisah-kisah tersebut perempuan sebagai peran utama di dalamnya yaitu ada Roro Jonggrang, Dayang Sumbi, Nawang Wulan, dan sebagainya. Sekilas mengenai mito-mitos dan hubungannya dengan lesung adalah sebagai berikut.
36
1. Kisah Joko Tarub
Dahulu di desa Tarub Tuban Jawa Timur, ada seorang laki-laki perjaka bernama Joko Tarub. Ia punya kesenangan berburu di hutan. Pada suatu ketika Joko Tarub sedang berburu, terdengar olehnya suara perempuan yang ramai becanda-canda. Ternyata ada 7 bidadari sedang mandi di telaga yang jernih. Joko Tarub kagum melihat kecantikan para bidadari, dan telah jatuh cinta dengan salah seorang bidadari tersebut. Pada akhirnya Joko Tarub mempunyai akal untuk dapat berkenalan dengan bidadari tersebut, maka dicurilah salah satu pakaian bidadari itu. Secara kebetulan bidadari yang cantik bernama Nawang Wulan, telah kehilangan pakaiannya. Akhirnya Joko Tarub berhasil berkenalan dan sampai kepada pernikahan.
Kehidupan Nawang Wulan dan Joko Tarub hidup berbahagia dalam rumah tangga dan dikaruniai seorang anak perempuan. Ada satu rahasia yang harus ditaati oleh Joko Tarub terhadap apa yang dikatakan Nawang Wulan. Bahwa setiap masak nasi Joko Tarub dilarang untuk membuka dandang penanak nasi sebelum Nawang Wulan yang membuka. Suatu ketika Joko Tarub merasa heran karena padi di lumbung tidak pernah berkurang bahkan berlimpah. Kemudian disaat Nawang Wulan pergi, maka kesempatan Joko tarub untuk mengetahui kenapa Nawang Wulan selalu melarang membuka dandang penanak nasi sebelum dibukanya. Terjadilah Joko Tarub membuka dandang, maka terkejutlah Joko Tarub karena ternyata Nawang Wulan hanya memasukkan setangkai padi saja, dan belum masak ketika dibuka Joko Tarub.
Akhirnya Nawang Wulan menangis, karena sejak itu ia harus menumbuk padi menjadi beras baru bisa dimasak dan lama memasaknya sampai benar-benar matang baru bisa dimakan. Oleh karenanya sejak itu lesung menjadi alat untuk menumbuk padi menjadi beras. Setelah sekian lama menumbuk padi maka lumbung padi menjadi berkurang bahkan nyaris habis karena belum panen. Disaat Nawang Wulan mengambil padi di tumpukan terakhir, ia sangat kaget ternyata pakaian bidadari miliknya ada di bawah padi tersebut. Ternyata selama ini pencurinya adalah suaminya sendiri yaitu Joko Tarub. Tamatlah sudah kehidupan Nawang Wulan bersama Joko Tarub, karena setelah menemukan pakaian bidadarinya, Nawang Wulan pun
37
kembali ke alamnya yaitu terbang ke kerajaan di langit bersama bidadari lainnya. Sejak itulah dikisahkan bahwa manusia harus menumbuk padi menjadi beras dengan menggunakan alu dan lesung.
2. Kisah Naga Baru Klinthing
Dikisahkan ada seorang laki-laki bernama Baru Klinthing yang gagah, tinggi, besar, dan sakti. Atas kesaktian itu Baru Klinthing menjadi sombong dan kesombongannya sampai terdengar oleh gurunya. Akhirnya ditantanglah Baru Klinthing oleh gurunya bahwa bila Baru klinthing mampu melingkari Gunung Merbabu, maka gurunya akan mengakui kesaktiannya. Akhirnya baru klinthing dengan kesaktiannya m,erubah dirinya menjadi ular naga raksasa yang akan melingkari gunung Merbabu. Alhasil baru klinthing tidak sampai tubuh naganya melingkari Gunung Merbabu, dengan akalnya maka dijulurkanlah lidah agar supaya Gunung Merbabu berhasil dilingkarinya. Ketika itu pula oleh gurunya lidah Baru klinthing dipotong, menangislah Baru Klinthing, lidah terpotong dan tubuh tidak dapat berubah menjadi manusia lagi, dan mohon ampun pada gurunya atas kesombongannya. Kemudian oleh gurunya Baru Klinthing untuk bertapa di Gunung Merbabu sampai tubuhnya kembali menjadi manusia, Baru Klinthing pun menjalankannya.
Suatu ketika penduduk Merbabu sedang mencari kayu, ketika itu ada sebuah kayu bersisik ditebang, namun mengeluarkan seperti lendir. Akhirnya penduduk mengetahui bahwa yang ditebang itu adalah seekor naga raksasa, maka beramai-ramai penduduk memotong-motong naga tersebut, dan dagingnya dimakan. Tanpa disadari salah satu daging yang dipotong tadi berwujud menjadi manusia bajang, cebol, dan tua, itulah wujud manusia Baru Klinthing yang sudah sekian lama bertapa di gunung Merbabu. Kemudian karena lapar Baru Klinthing meminta makan pada penduduk, namun penduduk semua sedang memasak daging naga dari gunung Merbabu yang tidak lain adalah tubuh Baru Klinthing pada saat menjadi naga raksasa tersebut. Baru Klinthing menolak dan akhirnya dia kelaparan sendiri, datanglah seorang nenek yang memberikan makan nasi dengan sayuran. Setelah makan selesai Baru Klinthing menyuruh nenek tadi untuk membuat lesung dan alu,
38
yang kelak berguna untuk menghasilkan nasi yang sebelumnya adalah padi menjadi beras. Pada akhirnya manusia pun menggunakan alu dan lesung untuk mendapatkan padinya menjadi beras, dan baru bisa dimasak untuk dimakan.
3. Kisah Desa Pasir Kujang
Kisah ini berasal dari daerah Pasundan tepatnya di desa Cidadap atau yang sekarang dikenal dengan nama Desa Pasir Kujang, terdapatlah suatu gubug bertingkat yang dipakai seorang laki-laki perjaka untuk menjaga ladangnya. Pada suatu malam terjadi hujan yang lumayan deras, datanglah segerombolan 7 harimau mendekati gubug sang perjaka, semula dianggap hendak menyerangnya ternyata harimau-harimau tersebut hanya hendak menumpang berteduh dari hujan. Tak disangka harimau-harimau tadi berubah menjadi wanita-wanita cantik berpakaian harimau, karena basah terkena air hujan, maka ditanggalkanlah pakaian harimaunya. Kejadian ini jelas dilihat oleh sang perjaka, dengan melotot melihat gadis-gadis cantik tanpa busana. Kisah ini mirip dengan kisah Joko Tarub dan Nawang Wulan, sedangkan ini seorang laki-laki dan perempuan harimau yang cantik. Akhir ceritanya pun sama, laki-laki perjaka tadi ketahuan isterinya yang tidak lain perempuan harimau bahwa suaminya yang telah mencuri pakaian harimau yang disimpan di rumah padi. Akhirnya mulai menumbuk padi untuk menjadi beras, yaitu dengan menggunakan alu dan lesung. Kemudian sang isteri pun pergi kembali kepada bangsanya dengan memakai kembali pakaian harimaunya hingga berubah menjadi seekor harimau dan lari kembali ke hutan.
4. Kisah Bandung Bondowoso
Dikisahkan pada zaman dahulu di daerah pinggir selatan Jawa Tengah terjadilah perang besar antara Prabu Boko dengan Bandung Bondowoso, dan peperangan dimenangkan oleh Bandung Bondowoso dengan tewasnya Prabu Boko di tangannya. Tinggallah seorang putri Prabu Boko bernama Roro Jonggrang yang akhirnya hendak diperisteri oleh Bandung Bondowoso, namun ditolaknya dengan syarat harus membuatkannya seribu candi dalam waktu satu malam, dan
39
sebelum ayam jantan berkokok pertanda pagi hari, maka Bandung Bondowoso harus segera berhenti dari pekerjaannya. Ternyata dengan kesaktiannya Bandung Bondowoso hampir sanggup menyelesaikan pekerjaannya membuat seribu candi dengan separuh malam. Hal inilah membuat Roro Jonggrang panik menghadapinya.
Akhirnya Roro Jonggrang menemukan akal untuk menggagalkan pekerjaan Bandung Bondowoso yang telah membunuh ayahnya. Roro Jonggrang akhirnya memanggil para dayang untuk beramai-ramai ke rumah lumbung padi dan memukul lesung dengan alu untuk memancing ayam jantan berkokok pertanda hari sudah pagi, dan Bandung Bondowoso harus berhenti bekerja. Akhirnya kothekan lesung yang dimainkan para dayang Roro Jonggrang mampu memancing ayam jantan berkokok. Maka berhentilah Bandung Bondowoso dari pekerjaannya yang ternyata belum selesai dengan seribu candinya. Bandung Bondowoso marah dan berkata bahwa Roro Jonggrang yang akan menjadi batu, sehingga genaplah jumlah candi menjadi seribu candi, maka jadilah Roro jinggrang menjadi arca candi hingga saat ini ada di Candi Prambanan.
5. Kisah Sangkuriang
Dikisahkan seorang raja dari Priangan Jawa Barat bernama Prabu Barmawijaya yang tidak mempunyai putra dan senang berburu ke hutan. Suatu ketika sedang berburu, Prabu mendengar tangisan seorang bayi perempuan yang dilahirkan oleh seekor babi putih (bidadari yang terkena kutuk), akhirnya diangkatlah menjadi putrinya dan dinamakan Dayang Sumbi. Setelah dewasa Dayang Sumbi ingin bertempat tinggal di hutan, dengan berat hati Prabu Barmawijaya mengijinkannya dan dibuatkanlah rumah pohon bertingkat di hutan. Hari- hari Dayang Sumbi menghabiskan waktu dengan menenun kain.
Suatu ketika alat tenunnya jatuh ke bawah dan Dayang Sumbi malas untuk mengambilnya, kemudian Dayang Sumbi bersumpah jika ada seorang perempuan yang mau mengambilkan alat tenunnya maka akan diangkat menjadi saudara, namun jika laki-laki maka akan menjadi suami. Akhirnya yang berhasil mengambilkan alat tenunnya adalah seekor anjing jantan, sesuai sumpahnya maka Dayang Sumbi
40
menikahlah dengan anjing tersebut yang sebenarnya adalah jelmaan seorang Dewa. Dikaruniailah Dayang Sumbi seorang anak laki-laki bernama Sangkuriang, yang setelah besar suka berburu seperti kakek angkatnya. Berburulah Sangkuriang bersama anjingnya yang sebenarnya adalah ayahandanya, namun Dayang Sumbi tidak pernah memberitahunya.
Suatu ketika pada saat berburu, Sangkuriang melihat seekor babi putih dan ia hendak memburunya dengan menyuruh anjingnya mengejar, namun sang anjing mogok tidak mau mengejar karena tahu bahwa babi putih itu adalah ibu kandung Dayang Sumbi atau nenek kandung Sangkuriang. Akhirnya Sangkuriang marah pada anjingnya dan dibunuhlah anjingnya dan diambil jantungnya untuk diberikan kepada ibunya. Sesampai di rumah Sangkuriang bercerita pada ibunya, marahlah Dayang Sumbi maka dipukulnya kepala Sangkuriang dan diusirnya.
Setelah beberapa tahun Sangkuriang pergi, kembalilah ia ke hutan dan sudah beranjak dewasa. Demikian Dayang Sumbi pun bertambah usia semakin tua, namun wajahnya atau jasmaninya tidak pernah menjadi tua, sehingga Sangkuriang tidak mengenali lagi dengan ibunya yang sangat cantik jelita, begitu pula Dayang Sumbi tidak pernah bertemu lagi dengan Sangkuriang yang semasa remaja diusirnya. Bertemulah mereka berdua dalam kondisi laki-laki jatuh cinta dengan seorang wanita, begitu sebaliknya. Pada akhirnya Dayang Sumbi mengenal siapa Sangkuriang sebenarnya dengan tanda luka di kepalanya. Dayang Sumbi tidak mungkin menikahi anak kandungnya sendiri, sementara Sangkuriang tidak percaya bahwa ia ibu kandungnya. Dibuatlah syarat oleh dayang Sumbi, ia mau dinikahi Sangkuriang jika dapat membuatkan perahu dalam waktu satu malam sebelum ayam jago berkokok pertanda pagi hari.
Sangkuriang menyanggupi dengan kesaktiannya dibuatlah sebuah perahu untuk Dayang Sumbi. Namun Dayang Sumbi tetap berusaha untuk menggagalkan keinginan Sangkuriang, maka berlarilah Dayang Sumbi menuju rumah lumbung padi di desa terdekat di mana Sangkuriang sedang membuat perahunya. Kemudian dipukullah lesung dengan alu berkali-kali sampai ayam-ayam jantan terbangun dan berkokok yang dikira
41
hari sudah menjelang pagi. Akhirnya gagallah pekerjaan Sangkuriang karena ayam jago sudah berkokok pertanda hari sudah pagi. Alhasil Sangkuriang marah kepada Dayang Sumbi sembari ia berada di atas perahunya yang baru setengah jadi, maka terbaliklah perahu tersebut, dan Sangkuring mati tenggelam dibalik perahunya yang terbalik.
6. Kisah Tengger
Suatu ketika di lereng gunung Pananjakan, berdiam seorang maha guru yang sangat beriman, dan dikaruniai seorang anak laki-laki yang sangat menyenangkan, diberilah nama Joko Seger. Pada saat yang hampir bersamaan lahirnya dengan Joko Seger, lahir pula seorang bayi perempuan yang cantik serta pendiam, yang mempunyai Roro Anteng. Setelah dewasa Roro Anteng banyak yang melamar tapi selalu ditolak, karena Roro Anteng sudah menjalin cinta dengan Joko Seger. Akhirnya ada seorang perampok yang sakti memaksa Roro Anteng untuk mau menjadi isterinya. Terpaksa Roro Anteng menyanggupi dengan syarat yang harus dipenuhi.
Syarat yang Roro Anteng ajukan kepada perampok sakti tersebut adalah harus membuatkan lautan yang berada di antara dua pegunungan dalam waktu satu malam yaitu setelah matahari terbenam dan sebelum ayam jantan berkokok yang pertama di pagi hari, maka pekerjaan membuat lautan harus sudah selesai. Perampok sakti itu membuat laut dengan sebuah batok kelapa atau tempurung kelapa. Roro Anteng pun mencari akal untuk memancing ayam jago lebih awal berkokoknya sehingga lautan itupun tak akan selesai dibuat. Alhasil Roro Anteng membunyikan kothekan lesung sampai ayam jantan pun berkokok terkecoh dikiranya sudah pagi, gagallah perampok sakti itu membuat lautan ditengah antara dua pegunungan untuk Roro Anteng. Kegagalan yang dialami perampok sakti itu membuat ia marah dan melemparkan batok kelapanya, hingga saat ini batok kelapa itu menjadi Gunung Batok. Roro Anteng akhirnya menikah dengan Joko Seger, hingga saat ini keturunannya disebut dengan orang Tengger, yaitu singkatan dari Anteng dan Seger.
Dari beberapa mitos yang disampaikan, maka dapat ditarik benang merah yang terkait dengan pembahasan utama yaitu lesung.
42
Ternyata beberapa legenda atau mitos-mitos terciptanya suatu tempat secara langsung maupun tidak langsung melibatkan lesung sebagai medianya. Sehingga terlukis bahwa legenda terciptanya suatu tempat, menggambarkan suatu permasalahan yang akhirnya dapat diselesaikan melalui media lesung. Kemudian legenda atau mitos-mitos tersebut pasti berhubungan dengan perempuan dan lesung yang melawan keegoan seorang laki-laki. Sehingga dapat digambarkan tabel sebagai berikut:
Tabel 2.
Lesung sebagai Media Penghubung Tokoh Perempuan
dan Laki-Laki
Tokoh Perempuan
Media
Tokoh Laki-Laki
Nawang Wulan
Lesung
Joko Tarub
Putri Harimau
Lesung
Jejaka
Nenek
Lesung
Baru Klinthing
Roro Jonggrang
Lesung
Bandung Bondowoso
Dayang Sumbi
Lesung
Sangkuriang
Roro Anteng
Lesung
Joko Seger
Bentuk perjuangan kaum perempuan terhadap sebuah penguasaan oleh keperkasaan kaum laki-laki mereka wujudkan dalam beberapa mitos yang ada pada lingkungan masyarakat agraris. Hal ini dapat dilihat dari mitos-mitos yang melibatkan perempuan, lesung, dan laki-laki. Perlawanan terhadap dominasi yang bersifat maskulinitas selalu dipatahkan oleh perempuan dengan menggunakan media lesung.
Oleh karenanya dengan menggunakan media lesung, perempuan memberikan perlawanan kepada kaum laki-laki yang suka memaksakan kehendaknya terkait dengan keselamatan dan kebebasan dari para perempuan tersebut. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa lesung sarat dengan:
43
1. Sebuah media di mana kaum perempuan bertemu untuk saling curhat;
2. Sebuah perlawanan kaum perempuan lebih kuat dibandingkan dengan kaum lelaki, karena menumbuk lesung memerlukan tenaga yang kuat;
3. Adanya interaksi antar para perempuan yang menciptakan sebuah pantun, puisi, ilmu pengetahuan tentang perempuan, ajang pertemuan untuk membicarakan tentang laki-laki dengan perempuan dewasa yaitu seksualitas misalnya.
Kothekan lesung seluruh pemainnya adalah perempuan, hal ini merupakan sebuah simbol bahwa perempuan merupakan lambang kesuburan. Kisah Dewi Sri yang dianggap sebagai penguasa padi atau Dewi Padi. Perempuan memiliki peran penting dalam proses kehidupan manusia. Awal mula kehidupan berasal dari rahim seorang ibu, yaitu bahwa setetes darah tumbuh menjadi seorang bayi dalam kurun waktu 9 bulan 10 hari. Proses menumbuk padi menjadi beras untuk kebutuhan hidup sehari-hari juga dilakukan oleh kaum perempuan. Artinya bahwa perempuan adalah sosok perkasa yang dikarenakan hegemoni laki-laki menjadi identik sebagai sosok yang lemah. Ketidaksadaran inilah yang akhirnya membuat posisi perempuan semakin terpinggirkan. Lesung merupakan salah satu media bagi perempuan dalam mengekspresikan perlawanannya terhadap kondisi sebagai sosok yang dianggap lemah tersebut. Yaitu dalam fungsinya sebagai penumbuk padi dan pemain kothekan lesung yang benar-benar membutuhkan kekuatan dan kelincahan dalam memainkannya. Hal ini sangat dibutuhkan tenaga yang tidak kalah kuatnya dengan tenaga yang di miliki oleh kaum laki-laki pada umumnya.
Kothek lesung selain sebagai sarana hiburan murah dan merakyat juga bisa menjadi sarana komunikasi antar warga yang efektif. Pada masa trennya kothek lesung dimainkan, warga berkumpul untuk ikut bermain atau sekedar menonton saja. Komunikasi antar warga seputar masyarakat menjadi hal yang menyenangkan bagi semua kalangan pada waktu itu. Hal ini terjadi pada peristiwa tertentu misalnya Muludan, Selikuran, Gerhana, Tundhan, Slametan, dan sebagainya.
Slametan merupakan ritus inti untuk melanjutkan, memelihara atau meningkatkan tatanan, sebuah acara makan komunal religius, dimana masyarakat, kerabat, dan handai taulan
44
ikut serta terlibat di dalamnya. Tujuan adalah mencapai keadaan “slamet”, yaitu sebuah keadaan di mana peristiwa-peristiwa mengikuti alur yang telah ditetapkan dengan lancar dan tak satu pun kemalangan yang menimpa siapa saja. Doa-doa serupa pun diselenggarakan disetiap kesempatan penting dalam kehidupan, dan pada perayaan-perayaan komunal, demi menjamin kesinambungan. Seperti dalam teori yang dituliskan oleh Niels Murder dalam bukunya berjudul Mistisme Jawa-Ideologi di Indonesia, bahwa di dalam sebuah ritus seluruh partisipan menikmati status ritual yang sama, masing-masing orang memberikan sumbangan yang sama bagi kekuatan spiritual dari kejadian itu. Oleh karena itu slametan berfungsi menunjukkan komunitas harmonis yang dikenal dengan nama “rukun”, yang menjadi prasyarat efektif mendatangkan para dewa, arwah, dan leluhur. Slametan memperlihatkan hasrat mencari keselamatan dalam dunia yang kacau. Kegiatan ini tidak ditujukan bagi kehidupan yang lebih baik, kini maupun di masa mendatang tetapi lebih ditujukan untuk memelihara tatanan dan mencegah datangnya bala. Bagaimanapun manusia memegang peran aktif dalam memelihara tatanan dan mampu mempengaruhi arahnya, hubungan manusia yang tertata baik menjadi sebuah sarana menuju dan sebuah kondisi untuk meningkatkan keadaan slamet (Murder Niels:2001:98).
45
KESENIAN KOMUNITAS BISSU
A. LOKASI PENELITIAN KESENIAN KOMUNITAS BISSU
Kabupaten Pangkep yang membentang di bagian barat Provinsi Sulawesi Selatan, wilayahnya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Wilayah pesisir;
2. Wilayah dataran tinggi;
3. Wilayah kepulauan.
Wilayah kepulauan di Kabupaten Pangkep terdiri dari 112 pulau dan 12 kecamatan, salah satunya adalah Kecamatan Segeri sebagai lokasi penelitian. Kabupaten Pangkep yang membentang sepanjang 45 km tepatnya berada pada 4.40° LS - 8° LS dan 110° dan 113° BT. Kabupaten ini memiliki luas wilayah daratan sebesar 1.112,29 km² dan luas wilayah lautan mencapai 17.100 km². Batas wilayah Kabupaten Pangkep secara administratif adalah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Barru;
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros;
3. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bone;
4. Sebelah barat berbatasan dengan Selat Kalimantan.
Di wilayah Kabupaten Pangkep masyarakatnya lebih banyak terjun di bidang pertanian, dan perkebunan, karena wilayahnya terdiri dari lahan pertanian. Namun potensi wisata di Kabupaten Pangkep pun cukup berkembang. Obyek wisata tersebut terdiri dari obyek wisata bahari, obyek wisata pegunungan, dan obyek wisata budaya. Keindahan alam sekeliling sepanjang jalan menuju Kabupaten Pangkep adalah pegunungan yang mempunyai kekayaan alam, yaitu karst. Selain obyek wisata yang menjadi daya tarik kepariwisataan, terdapat di salah satu wilayah Kabupaten Pangkep, tepatnya di Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, hidup sekelompok komunitas Bissu.
Di Desa Bontomatene juga terdapat sebuah rumah untuk menyimpan Arajang yang dipercayai sebagai benda pusaka pada masa kejayaan Kerajaan Bugis. Arajang yang disimpan adalah berupa alat tradisional untuk membajak padi. Komunitas Bissu hidup di tengah-tengah masyarakat pada umumnya, meskipun masyarakat tidak sepenuh hati menerima keberadaan komunitas
46
Bissu tersebut. Atas dasar keyakinan dan kepercayaan masyarakat tentang upacara ritual yang harus dilakukan sebelum tanam padi, maka komunitas Bissu menjadi tetap harus ada. Di dalam upacara ritual yang disebut Mappalili yang dipimpin oleh seorang Puang Matowa yang berasal dari komunitas Bissu. Upacara Mappalili ini menjadi daya tarik pariwisata. Keunikan dan daya tariknya adalah adanya tarian Maggiri, yaitu atraksi yang menunjukkan kekebalan para Bissu terhadap senjata tajam, yaitu dengan menggunakan keris. Upacara ritual Mappalili ini dilakukan setahun sekali, biasanya jatuh sekitar bulan September.
B. BISSU BUKAN CALABAI BIASA
Tradisi transvestities di tanah Bugis, yaitu lelaki yang berperan sebagai perempuan, sudah diungkap dalam naskah-naskah klasik Bugis sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka dikenal sebagai pendeta agama Bugis kuno pra Islam dengan julukan Bissu. Keberadaan mereka sebagai benang merah kesinambungan tradisi lisan Bugis kuno. Kata Bissu berasal dari kata mabessi dalam bahasa Bugis, yang berarti bersih atau suci, karena tidak memiliki payudara dan tidak haid. Sebagai implementasi tafsir suci tersebut, mereka tidak boleh berpacaran, menikah, dan menyingkirkan keinginan seksualitasnya.
Secara fisik Bissu adalah laki-laki, tetapi lemah lembut dalam bertutur dan memiliki kemampuan-kemampuan lebih, seperti meramal, mengobati, dan kebal terhadap senjata tajam. Sementara sebagian orang mengatakan bahwa Bissu sama dengan waria/banci. Di dalam bahasa Bugis disebut calabai atau kawe-kawe yang berarti waria (wanita-pria, wadam). Untuk menjadi Bissu para calabai tersebut harus melewati seleksi dan upacara khusus. Tidak semua waria bisa menjadi Bissu, tetapi semua waria punya peluang untuk menjadi Bissu, dengan mempunyai bakat dan anugerah atau panggilan hati dari dewata. Pada dasarnya semua Bissu adalah waria (calabai dalam bahasa Bugis). Seorang Bissu dalam pengertiannya sebagai orang ”suci” karena berkaitan dengan tugas yang diembannya sebagai penjaga dan pemelihara Arajang, yaitu benda-benda pusaka yang diwariskan para raja yang memerintah dalam suatu negeri atau kerajaan di Bugis dahulu. Seorang Bissu bukan calabai biasa, karena ada tirakat serta peraturan yang harus dijalani sebelum menjadi Bissu. Selain itu
47
Bissu juga diharuskan berpakaian sopan dan anggun, tidak berpenampilan yang mengundang birahi orang seperti para banci/waria pada umumnya.
Tugas Bissu pada intinya adalah sebagai pemimpin spiritual bagi masyarakat maupun kerajaan pada masa lalu. Di dalam kontekss kekinian mereka menerima konsultasi tentang hajatan, pertolongan, bahkan pengobatan. Di dalam setiap upacara ritual, tugas mereka memimpin dan menjaga Arajang, yaitu benda pusaka keramat peninggalan kerajaan).
Puang Matowa, pimpinan komunitas Bissu
dalam busana lengkap untuk upacara
Tepatnya di Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan, masyarakatnya masih melakukan upacara sebelum tanam padi, menumbuk padi, dan upacara syukur pada saat panen padi. Unik dan menarik karena tradisi masyarakat agraris di sini sebagai pelaku utama ritual harus dilakukan/ dipimpin oleh seorang Puang Matowa, yang dibantu oleh seorang wakil yang bergelar Puang Lolo, dan keduanya dilantik oleh raja atau penguasa. Puang Matowa adalah pimpinan dari komunitas Bissu, yang sebenarnya adalah:
48
1. Penjaga raja dan penjaga pusaka kerajaan pada zaman kerajaan di Sulawesi Selatan;
2. Orang yang mengurus sistem rumah tangga raja;
3. Orang yang menyerupai perempuan tetapi kebal dengan senjata tajam;
4. Orang yang dipercayai mampu mengobati orang sakit yang disebut sebagai tabib (sanro);
5. Termasuk komunitas calabai (komunitas yang memiliki kepribadian ganda), tetapi bukan calabai biasa, yaitu sebagai kaum transvestities;
6. Berperan penting di dalam kerajaan yaitu sebagai perantara dunia atas dan dunia bawah yang disebut sebagai Bissu Dewata.
Komunitas Bissu di Propinsi Sulawesi Selatan masih ada terdapat di Kabupaten Pangkep, Bonne, Soppeng, dan Wajo. Pada mulanya Bissu berasal dari Kabupaten Luwu, namun kini sudah tidak ada lagi. Tugas Bissu pada intinya sebagai pemimpin spritual bagi masyarakat maupun kerajaan pada waktu itu. Di dalam setiap upacara ritual, tugas Bissu adalah memimpin. Di dalam pelaksanaan upacara Bissu kerap kali melantunkan pujian-pujian, mantera, untuk mencapai tahap fana al fana atau intrance yang ditandai dengan menusuk keris ke tubuh mereka yang telah kebal.
Di dalam naskah La Galigo disebutkan bahwa Bissu telah ada sebelum masuknya Islam. Di naskah tersebut dikatakan bahwa Bissu yang pertama kali diturunkan dari langit. Bahasa dalam naskah La Galigo tidak sama dengan bahasa yang digunakan Bissu. Salah satu syarat untuk menjadi Bissu adalah mengetahui bahasa Bissu. Bahasa Bissu adalah lambang dari bahasa langit, sehingga disebut juga bahasa Torilangi, yang berarti bahasa orang dari langit. Norma-norma, konsep-konsep kehidupan, bahkan silsilah dewa-dewa dan kosmologi orang Bugis dalam kitab La Galigo, mereka peroleh secara lisan atau tertulis dari guru-guru pendahulu mereka yang telah wafat. Pengetahuan-pengetahuan warisan Bugis kuno itu mereka pertahankan dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan atau upacara orang Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Bissu memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dengan para dewata dan untuk berkomunikasi antara sesama Bissu. Bahasa tersebut disebut bahasa suci, bahasa orang langit yang disebut juga bahasa
49
Torilangi atau bahasa Dewata. Para Bissu beranggapan bahwa bahasa tersebut diturunkan dari surga melalui Dewata.
Tarian Bissu yang masih dapat disaksikan pada waktu-waktu tertentu, sekarang dapat disaksikan di Desa Bontometene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Pada hakekatnya pada jaman kejayaan Kerajaan Bugis, tari-tarian istana banyak dilakukan oleh penari pria yang menyerupai wanita, atau yang juga disebut kaum Bissu. Hal ini dilakukan sebagai sebuah fenomena dari politik raja yang menjaga putrinya dari gangguan para pria yang tidak diinginkan masuk dalam istana.
C. BISSU DAN PERSYARATANNYA
Meski pada dasarnya semua Bissu adalah calabai, namun tidak semua calabai adalah Bissu, karena ada tirakat dan peraturan yang harus dijalani. Mereka juga diharuskan meninggalkan pribadi genit dan patut berpakaian sopan dan anggun. Seorang yang telah bergelar Bissu, tidak boleh berpacaran, tidak menikah, dan menyingkirkan keinginan seksual. Namun karena populasi Bissu semakin berkurang, diperoleh data bahwa beberapa di antara mereka kini berkeluarga untuk memperoleh keturunan. Di Bone ada Bissu yang disebut Bissu Mamatra, yaitu Bissu yang belum sempurna.
Pada masa pemerintahan Kerajaan Bugis, seluruh pembiayaan upacara dan keperluan hidup komunitas Bissu diperoleh dari hasil sawah kerajaan. Para Bissu juga memperoleh sumbangan dari dermawan yang berupa pedagang, kaum tani, bangsawan yang datang sendiri atau secara rutin memberikan sedekahnya. Selain itu mendapatkan tanah seluas satu petak atau dua petak tanah persawahan dari kerajaan untuk diolah oleh Puang Matowa bersama komunitasnya. Sawah yang merupakan tempat upacara Mappalili tersebut, hasilnya untuk biaya upacara-upacara dan kebutuhan hidup komunitas Bissu selama setahun. Adat istiadat yang dijalankan oleh pemerintah Kerajaan Bugis dahulu mengandung makna malebbi dan malempu, yaitu kemuliaan dan kejujuran. Moral menjadi sasaran utama aturan, sehingga seluruh tata aturan tersebut harus ditaati dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Oleh karena itu apa yang menjadi tujuan dan sasaran upacara akan tercapai dengan baik.
50
Di dalam sebuah upacara Bissu ada yang disebut dengan matemmu tang, yaitu persembahan beberapa bahan sesaji untuk para dewa yang dianggap telah memberikan rahmat kepada masyarakat setempat selama satu tahun sebelumnya. Jadi pada dasarnya upacara ini merupakan upacara tahunan yang hingga kini masih diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya. Ada sebuah bagian di dalam rangkaian upacara yang disebut dengan mappasabbi arajang, upacara ini dilakukan di dalam sebuah kamar arajang, di mana terdapat benda-benda pusaka. Selain itu dilakukan pembacaan mantra-mantra terhadap sesaji yang telah diletakkan di depan arajang tersebut oleh Puang Matowa sebagai pemimpin upacara. Di dalam upacara disajikan apa yang disebut makemmo sokko patan rupa (meremas nasi ketan yang diberi warna merah, kuning, putih, dan hitam, yang diletakkan dalam piring-piring kecil. Adapun artinya warna merah adalah api, warna kuning adalah angin, warna putih adalah air, dan warna hitam adalah tanah.
Ketika aturan-aturan lisan bermuatan moral tersebut digantikan dengan aturan-aturan tertulis yang konon lebih modern, maka masyarakat tradisional mulai kehilangan kekuatannya. Bissu adalah seorang laki-laki yang berpenampilan dan berkepribadian seperti wanita. Tidak semua manusia tranvestitisme dapat menjadi Bissu, karena harus menjalankan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Adapun untuk menjadi seorang Bissu harus melakukan beberapa syarat yang telah ditentukan dengan aturan-aturan yang ada dalam komunitas Bissu, yang dipimpin oleh Puang Matowa. Awal mula seorang waria yang hendak menjadi Bissu harus mempunyai motivasi yang kuat untuk berhasil menjadi Bissu.
Motivasi tersebut antara lain ingin menjadi Bissu secara sungguh-sungguh, karena jika hanya main-main maka akan menerima resikonya. Pernah terjadi seorang waria yang bertekad menjadi Bissu, namun gagal. Kegagalan ini dikarenakan adanya aturan yang dilanggar, yaitu Bissu tidak boleh melakukan hubungan suami istri, sehingga Bissu dilarang menikah, tidak boleh berdandan terlalu mencolok atau menor, yang dapat mengundang birahi lorang lain, dan sebagainya. Bissu yang melanggar aturan akan mati, demikianlah mitos yang populer terdengar oleh masyarakat di Kecamatan Segeri. Namun untuk perkembangan di masa sekarang banyak Bissu yang menikah, agar supaya terjadi regenerasi
51
keturunan Bissu tetap ada. Oleh karena itu syarat-syarat untuk menjadi Bissu atau proses untuk menjadi Bissu (irreba) adalah:
1. Niat;
2. Puasa;
3. Mattinjak (mempunyai nazar);
4. Wuju;
5. Taat pada aturan-aturannya.
Niat adalah sebuah janji yang dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh seorang waria untuk menjadi bagian dalam komunitas Bissu. Niat ini harus muncul dari lubuk hati yang paling dalam, karena akan menjadi berat menjalankan dan kegagalan yang terjadi untuk menjadi Bissu. Niat yang tulus dibarengi dengan menjalankan puasa, biasanya para waria yang hendak menjadi Bissu, harus melakukan puasa selama 40 hari 40 malam secara terus-menerus. Kemudian selesai berpuasa calon Bissu melakukan sebuah nazar sebelum benar-benar menjadi Bissu. Biasanya nazar dilakukan selama tiga hari berturut-turut, dengan melakukan apa yang disebut dengan Wuju. Calon Bissu menjalankan wuju, yaitu dengan dibungkus kain kafan putih dan dimandikan layaknya seperti mayat oleh para Bissu senior yang dipimpin oleh Puang Matowa. Setelah dimandikan dan dikafani, calon Bissu ditidurkan di rumah di lantai atas dengan beratapkan langit-langit, sambil bernazar seperti orang bertapa, tidak makan dan minum selama satu hari satu malam. Demikianlah upacara pelantikan Bissu menjadi bertingkat-tingkat, dan bagian terbesar dalam upacara pelantikan Bissu harus ada 40 orang Bissu senior (Bissu Pattappuloe), serta salah satunya adalah Bissu wanita.
Bissu wanita biasanya adalah seorang wanita yang telah menopause dan mendapat manase (wangsit/panggilan hati). Namun sekarang pelantikan dengan cara seperti ini tidak dilakukan lagi karena calon Bissu beresiko jatuh pingsan, gila, atau bahkan meninggal. Oleh karena itu syarat-syarat untuk menjadi Bissu, pada saat ini tidak lagi serumit dan selama pada waktu Bissu senior masih berjumlah 40 orang, karena Bissu yang tersisa saat ini hanya tinggal 6 orang.
Syarat terakhir dan harus selamanya dilakukan oleh calon Bissu adalah harus taat dan patuh terhadap peraturan-peraturan yang diberlakukan dalam komunitas Bissu, layaknya seorang laki-laki berpenampilan perempuan tetapi bukan waria biasa. Seperti
52
dikatakan oleh Halilintar Latief dalam bukunya berjudul Bissu, Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis, bahwa:
“Para Bissu yang telah dilantik menganggap dirinya lebih terhormat dan lebih tinggi kedudukannya dari pada calabai pada umumnya yang belum dilantik. Bissu yang telah irreba-lah yang berhak menyandang predikat sebagai Bissu sesungguhnya, sedangkan calon Bissu yang belum dilantik hanya berhak menyandang sebagai Bissu mentah (Bissu mamata). Namun karena kaum Bissu makin berkurang, perbedaan antara Bissu dan calabai ini makin rancu di beberapa wilayah adat” (Latief Halilintar A:2004:47).
Di dalam kehidupan komunitas Bissu juga mengenal dengan hirarki organisasi atau struktur organisasi yang dibedakan menurut fungsi kerjanya. Adapun struktur organisasi dalam komunitas Bissu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Puang Matowa;
2. Puang Lolo;
3. Bissu Tantre;
4. Bissu Poncok.
Puang Matowa adalah pimpinan dari komunitas Bissu. Puang Matowa pada jaman kerajaan dipilih oleh rakyat dan dinobatkan oleh raja. Puang Matowa bertugas menjaga pusaka kerajaan dan melayani keluarga kerajaan, serta hidupnya ditanggung oleh kerajaan. Biasanya Puang Matowa bertempat tinggal di rumah pusaka kerajaan (Bola Arajang). Puang Matowa adalah sebagai pimpinan Bissu, maka apabila tidak bisa hadir dalam sebuah acara, yang akan menggantikan adalah Puang Lolo sebagai wakilnya.
Puang Lolo disebut juga sebagai wakil dari Puang Matowa atau juga bisa sebagai kandidat pengganti pimpinan Bissu tersebut. Oleh karena itu kelebihan yang dimiliki oleh Puang Matowa tidak jauh beda dengan yang dimiliki oleh Puang Lolo. Pelantikan Puang Lolo bersamaan dengan pelantikan Puang Matowa, karena Puang Lolo pun dipilih oleh rakyat dan dilantik oleh raja.
Sedangkan Bissu Tantre adalah Bissu yang dianggap mempunyai pengetahuan yang tinggi atau berderajat tinggi, dalam arti Bissu ini sangat cepat menangkap dan cepat tanggap dengan apa yang diajarkan oleh Puang Matowa.
Ada juga yang disebut dengan Bissu Poncok adalah Bissu yang mempunyai derajat yang rendah atau berpengetahuan rendah
53
karena tidak terlalu cepat mengerti dan tanggap dengan apa yang diajarkan oleh Puang Matowa. Bissu Tantre dan Bissu Poncok akan tampil dan menari dalam upacara ritual yang dipimpin oleh Puang Matowa. Saat ini jumlah Bissu tinggal 6 orang saja, di antaranya adalah Puang Matowa, Puang Lolo, Bissu Tantre (Zulaeka), dan Bissu Ponco (ada 4 orang). Menurut Andi Halilintar Latief dalam bukunya berjudul Bissu, Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis disebutkan bahwa Bissu yang terdapat di Segeri mempunyai perbedaan dengan Bissu yang berada di Bone. Perbedaan Bissu dari kedua daerah tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 3.
Perbandingan Bissu Segeri dengan Bissu Bone
NO
Bissu Segeri
Bissu Bone
1
Jumlah Bissu 40 orang (Patappuloe)
Jumlah Bissu 40 orang (Bissu Patappuloe), namun pada saat upacara tidak semuanya turut menari Bissu
2
Umumnya terdiri dari calabai
Terdiri dari calabai dan Bissu wanita atau core-core
3
Klasifikasi Bissu Tantre didasarkan pada hirarki tingkat pengetahuannya
Klasifikasi Bissu Tantre didasarkan pada hirarki organisasi Bissu. Bissu Tantre terdiri dari:
a. Puang Towa;
b. Dua orang Puang Lolo;
c. Inang Bissu;
d. Kuneng Lolo;
e. Bissu Lolo.
4
Bissu Poncok terdiri dari 6 orang Bissu. Muncul saat pesta kerajaan, melepas nazar, Mappalili, atau saat
Bissu Poncok atau Bissu core-core, muncul saat upacara-upacara Mallangi Arajang, Maccera Arajang, dan
54
pesta ke lapangan Jota.
Mallatoana Arajang.
5
Berperan saat Mappalili
Tidak berperan saat Mappalili
6
Pakaian Bissu
Di luar lalebata : pakaian Sanro (dukun) atau aneka warna pakaian. Di dalam lalebata : Wajo Bodo
7
Penggunaan peralatan dalam upacara disesuaikan dengan derajat kebangsawanan pelaksanaan hajatan, tetapi jumlah maksimalnya hanya 9 buah.
Penggunaan peralatan dalam upacara disesuaikan dengan derajat kebangsawanan pelaksanaan hajatan; Peralatan bangsawan tinggi dua „kasera (2 x 9); Peralatan bangsawan Palili dua „kattuju (2 x 9).
8
Tarian selalu diakhiri dengan Maggiri (menari sambil menusukkan keris ke badan atau leher mereka).
Sekarang tarian tidak lagi diakhiri dengan Maggiri.
( Latief A Halilintar:2004:75)
D. KESENIAN PADA KOMUNITAS BISSU
Para Bissu dahulu mengenal tradisi tulisan pada lontar, namun tradisi ini sudah semakin ditinggalkan, dan berubah menjadi tradisi tutur. Di dalam upacara yang dipimpin oleh Bissu terdapat perpaduan dari berbagai aspek kesenian. Kesenian pada komunitas Bissu sebenarnya merupakan bagian dari aktivitas upacara/ritual sebelum menanam padi yang meliputi pembacaan mantra-mantra, sastra, nyanyian, musik, dan tarian. Semua bentuk seni tersebut sebagai media upacara dalam berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa untuk mohon ijin dan berkahnya. Salah satu media upacara yang menjadi puncaknya adalah tarian Maggiri. Gerakan tarian Bissu bukan sekedar gerakan tari semata-mata, tetapi ada aktifitas kesenian lain, seperti pantun, iringan alat musik, dan adanya atraksi kekebalan senjata yang disebut Maggiri.
55
Beras ketan yang dibuat dengan berbagai warna sebagai salah satu sesaji sebelum melakukan tarian Maggiri.
Maggiri adalah disebut juga upacara magrangeng-rangeng, yaitu Bissu telah berpakaian lengkap dan berdandan sedemikian rupa, berjalan sambil menari mengelilingi walasuji dipimpin oleh Puang Matowa. Kemudian Puang Matowa memperlihatkan kesaktiannya dengan menusukkan keris ke arah tenggorokannya itulah yang disebut maggiri, lalu diikuti oleh ke enam Bissu yang lain. Tarian Maggiri merupakan tarian yang unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka yang mengandung unsur mistis di dalamnya. Tari spiritual kaum Bissu yang sudah berusia ratusan tahun. Maggiri merupakan rangkaian dari prosesi upacara dalam tradisi Bugis kuno yang dilaksanakan para Bissu, dan sampai hari ini masih bertahan meski jumlah Bissu sudah tidak banyak lagi, yaitu hanya ada 6 orang Bissu yang berada di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep. Atraksi ini sambil menghentak-hentakan kakinya ke lantai diiringi dengan musik yang ritmis semakin lama semakin cepat, sehingga mampu membuat penonton berdebar melihatnya. Di dalam Maggiri inilah Bissu mempertunjukan kesaktiannya kebal akan benda tajam, yaitu keris
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/13/humaniora/1892839.htm)
56
Puncak upacara Mapalili adalah atraksi intrance, yaitu maggiri. Bissu menunjukkan kesaktiannya dengan menusuk keris ke tubuhnya, yang dimulai dari Puang Matowa sebagai pemimpin upacara.
Setelah Puang Matowa menusuk tubuhnya dengan keris, kemudian diikuti oleh para Bissu yang lain.
57
Alat-alat yang digunakan dalam tarian Bissu meliputi dua buah keris (lambang pria dan wanita), lalosu (bambu anyaman berbentuk kepala ayam dan berbadan ular, lambang dunia atas dan dunia bawah), kostum yang menggambarkan perwujudan dewa-dewa, dan sebagainya. Biasanya kaum Bissu pandai menari dan menyanyi dengan membawakan mantra. Namun ada kaum Bissu dari kalangan bangsawan yang tidak bisa menari, yang disebut dengan Pargundang.
Ketika mencari pengertian kesenian Bissu, memang sedikit bingung apakah tradisi itu dapat dikategorisasi sebagai suatu bentuk kesenian, atau karena tarian dengan nama ”mabissu” yang sudah dapat disaksikan sekarang adalah salah satu bagian dalam upacara-upacara ritual pada masa dahulu (kerajaan) yang dilakukan sebagai bentuk persembahan dan komunikasi kepada Sang Dewata, agar maksud dari hajatan tersebut diperkenankan dan berjalan lancar. Pada masa jayanya kerajaan-kerajaan Bugis, seperti Kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone, seni tari dipelajari hanya di lingkungan istana. Tari dalam bahasa Bugis (Basa Ugi) disebut Sere (mondar-mandir) atau jaga (berjaga tidak tidur semalaman) dan juga diberi nama Joge yang diberi awalan ma menjadi Majoge yang berarti berjoget dan Pajoge berarti penarinya. Dilihat dari fungsinya, tari-tarian suku Bugis mempunyai fungsi sebagai:
1. tari untuk upacara;
2. tari untuk bergembira;
3. tari untuk tontonan atau atraksi.
Sere yang berarti tari pada umumnya untuk menyebut tari-tarian yang bersifat sakral, sedangkan Joge pada umumnya dipergunakan untuk menyambut tari-tarian yang bersifat bergembira, tari-tarian bersifat tontonan, atau tari-tarian atraksi. Misalnya tarian Bissu yang mempunyai fungsi untuk upacara kelahiran, upacara perkawinan, dan upacara turun sawah, yaitu adanya tarian Maggiri. Di masa sekarang pertunjukan Maggiri yang telah dipentaskan dan diperkenalkan pada kesempatan atau pergelaran budaya, bahkan telah dipertontonkan secara luas di sejumlah negara Asia hingga Eropa, maka budaya dan tradisi Bugis kuno yang dimiliki komunitas Bissu dapat diartikan sebagai suatu bentuk kesenian tradisional dalam bentuk tarian.
Tarian unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka dengan unsur mistis di dalamnya. Dari keterangan-keterangan yang
58
diperoleh dapat diketahui adanya beberapa tahapan yang dibagi atas enam sesi dalam tarian Bissu tersebut. Apabila disistematiskan maka tari Bissu yang dikenal dengan Maggiri dibagi dalam enam tahapan, yaitu:
1. Tette Sompe: Pembukaan (persembahan) dengan dimulai dengan bunyi gendang, suling tiup (pui-pui), dan iringan gong;
2. Balisumange (Bangkit): para Bissu mulai keluar beriring lalu keliling dengan formasi melingkar dan pimpinan Puang Matowa duduk di belakang Walasuji: berbentuk persegi empat dari rangkaian bambu yang berisi sejumlah benda-benda pusaka yang melambangkan “dunia”;
3. Tette Lenyye: irama musik diredupkan atau pelan, dan penari Bissu berdiri berkeliling di “walasuji”;
4. Tette Losa-losa: suara musik semakin dikecilkan, dan penari Bissu terus berkeliling disertai lantunan mantera oleh Puan Matowa;
5. Salakanjara (meronta), para Bissu yang menari melakukan atraksi penyiksaan tubuh dengan menancapkan keris di bagian leher atau bagian-bagian tubuh lainnya. Gerakan ini terus meningkat dan panas untuk mempertunjukkan kemampuannya bahwa mereka manusia kebal;
6. Kanjara (puncak intrance/ kesurupan): pada sesi ini merupakan puncak atraksi yang menegangkan, seolah para Bissu terutama pimpinan penari (Puang Matowa) meronta dan menunjukkan kehebatannya dengan menancapkan kerisnya sekeras-kerasnya secara bergantian dari tangan, perut dan lehernya. Ada yang berguling, menunduk yang terus berupaya menancapkan benda tajam tersebut ke dalam tubuhnya. Musik pengiring pun makin meningkat iramanya lalu akhirnya berhenti sebagai pertanda pergelaran tari klasik itu telah usai.
Musik yang dimainkan dalam kesenian tari Maggiri sebenarnya sederhana dan tidak memerlukan banyak orang untuk memainkannya. Adapun jenis alat musik yang diperlukan dalam kesenian ini meliputi:
1. Gong (1 orang);
2. Gendang (2 orang);
3. Pui-pui seruling (1 orang);
59
4. Lae-Lae/semacam alat musik pukul dari bambu yang disayat-sayat (2 orang), kancing/simbal perunggu (1 orang);
5. Kancing/simbal perunggu (1 orang);
6. Anak bacing (1 orang); dan
7. Mangkok dan piring yang diputar (1 orang).
Irama lagu ditentukan dari suara seruling, sedangkan gendang berfungsi mengatur cepat-lambat atau keras-lembutnya suara musik. Adapun di dalam menari tarian Bissu pada saat upacara ritual Mappalili, dimulai dengan bagian menyanyi yang dipimpin oleh Puang Matowa untuk membangunkan Arajang yang sudah selama satu tahun tersimpan atau tertidur di rumah pusaka, prosesi ini disebut dengan Matteddu Arajang (membangunkan Arajang). Pusaka kerajaan yang berupa bajak sawah, kemudian diarak untuk dimandikan di sungai oleh masyarakat yang dipimpin oleh Puang Matowa, yaitu dengan melakukan upacara pengambilan air dari sungai. Setelah itu Puang Matowa mulai melakukan untuk membajak sawah dengan bajak sawah (pusaka) yang sudah dimandikan. Selesai upacara tersebut pusaka dibungkus kembali dengan kain putih dan dikembalikan pada tempatnya.
Adapun properti-properti atau kelengkapan alat-alat yang dipergunakan, menurut Halilintar seperti yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Bissu dan Peralatannya, properti yang dipergunakan dalam menari Bissu mempergunakan:
1. Alosu, yaitu seperti tongkat kayu yang pendek, bentuknya seperti kepala burung, yang dianyam dengan indah dengan daun lontar (untuk saat ini dihias dengan kertas warna), dan diberi ekor-ekoran. Ada satu lagi yang dibungkus dengan kain warna merah, dan ekor-ekoran juga disebut dengan Arumpigi;
2. Teddung Buburu (payung Buburu), yaitu payung berwarna kuning atau oranye ini biasanya terbuat dari kain sutra dan bergagang dari kayu atau bambu. Pinggiran pada payung dihiasi dengan renda-renda yang indah. Kemudian ada juga yang menggunakan bendera sebagai pelengkap properti yang disebut dengan Bendera Arajang;
3. Besi Banrangga adalah seperti sebuah tombak yang diletakkan pada tempatnya berdampingan dengan payung;
4. Oiye adalah seperti irisan bambu kecil dan panjang yang dibalut dengan daun lontar (Latief Halilintar A:1981:27-30);
60
5. Lellu adalah seperti tenda berwarna kuning dan hanya bagian atasnya, samping kanan dan kiri tanpa kain, disangga dengan kayu membentuk persegi lima.
6. Paccoda adalah perlengkapan untuk menari, yaitu sebuah kotak kayu persegi delapan yang dibungkus kain berwarna kuning (Latief Halilintar A:2004:114).
Selain alat-alat yang dipergunakan, sesaji-sesaji juga disiapkan. Metemmu Tang adalah persembahan beberapa bahan sesaji untuk Tuhan yang dianggap telah memberikan kekuatan. Sesaji tersebut di antaranya adalah makanan dari beras ketan (yang diberi warna putih, kuning, merah, dan hitam), telur, kelapa muda, pisang, jagung putih yang disangrai, ayam panggang, opor ayam kering. Semuanya diatur sedemikian rupa untuk disajikan sebagai persembahan dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu ada juga dupa dengan minyak yang dinyalakan sebagai media untuk berkomunikasi dengan dunia atas dengan dunia bawah yang dilakukan oleh Puang Matowa. Kemudian barulah mereka menari berputar dan akhirnya sampai kepada atraksi Maggiri dengan menggunakan kerisnya, yang dipimpin oleh Puang Matowa. Pergantian gerakan dari satu gerakan kepada gerakan yang lain ditandai oleh suara gendangnya. Atraksi kekebalan terhadap senjata tajam ini dilakukan secara bergantian, kemudian puncak intrance para Bissu secara bersamaan dan sambil menghentakkan kakinya dengan keras ke lantai dengan menusuk-nusuk tubuhnya memakai kerisnya. Pertunjukan ini berlangsung sampai para Bissu berhenti dari intrance masing-masing, kurang lebih setengah jam lamanya. Pada saat upacara ritual pada jaman dahulu para Bissu memakai kostum berwarna kuning dan merah, sedangkan Puang Matowa memakai warna putih. Namun perkembangan jaman sekarang selain sebagai upacara ritual, atraksi Bissu juga sebagai sebuah pertunjukan. Sehingga untuk kostum dan asesoris yang dipergunakan semakin menarik, indah, dan lengkap. Warna kostum yang dipakai pun makin mencolok, walaupun itu untuk pakaian yang dikenakan oleh Puang Matowa, sehingga tidak hanya warna putih saja. Adapun pakaian yang dipergunakan Bissu pada saat menari adalah sebagai berikut:
1. Baju Bella Dada atau sosok dan celana;
2. Lipa Awik atau sarung;
61
3. Passapu atau destar (ikat kepala) dan kembangnya;
4. Pakambang (selendang/selempang);
5. Kain Cinde (khas Bone);
6. Tali Benang (seperti sabuk pinggang panjang).
E. BISSU DAN LINGKUNGAN SOSIALNYA
Pada jaman dahulu di setiap desa mempunyai komunitas Bissu, namun sekarang tidak lagi karena keberadaannya ditolak dengan alasan agama, khususnya agama Islam. Pada masa pemerintahan Kerajaan Bugis, seluruh pembiayaan upacara dan keperluan hidup komunitas Bissu diperoleh dari hasil sawah miliki kerajaan. Para Bissu juga memperoleh sumbangan dari dermawan yang terdiri dari kaum pedagang, petani, dan bangsawan yang sesekali atau secara rutin memberikan sedekahnya. Selain itu mereka diberi sepetak atau dua petak tanah persawahan dari kerajaan, yang diserahkan pengolahannya kepada Puang Matowa beserta para Bissu lainnya. Sawah pemberian dari raja tersebut digunakan untuk tempat upacara Mappalili. Hasil dari sawah ini digunakan untuk membiayai pelaksanaan upacara-upacara dan kebutuhan hidup komunitas Bissu selama setahun.
Adat istiadat yang dijalankan oleh pemerintah Kerajaan Bugis dahulu mengandung makna malebbi dan malemppu, yang berarti kemuliaan dan kejujuran. Oleh karena itu seluruh tata aturannya ditaati dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Moral menjadi sasaran utama aturan, sehingga apa yang menjadi tujuan dan sasaran upacara akan tercapai dengan baik. Ketika aturan-aturan lisan bermuatan moral tersebut digantikan dengan aturan-aturan tertulis yang lebih modern, maka aturan-aturan lisan yang bersifat tradisional dalam masyarakat mulai kehilangan kekuatannya.
Keberadaan Bissu di desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep diperkirakan sudah ada sejak tahun 1825-an. Ketika itu ada seorang putra Kerajaan Bonne yang bernama Pajunglolo Peta Tolawe yang melarikan diri sampai ke Segeri, namun tidak diketahui alasan yang menjadi penyebabnya pelariannya. Secara misterius pusaka Kerajaan Bone, yang disebut Arajang mengikuti pelarian putra raja tersebut. Pusaka arajang ini berupa alat bajak, sehingga sejak saat itu mulai ada upacara Mapalili. Upacara ini untuk mengawali masa tanam padi dengan
62
harapan kelak mendapatkan hasil panen yang memuaskan. Upacara Mapalili merupakan rangkaian upacara yang panjang, yang meliputi:
1. Mateddu Arajang (mempersiapkan Arajang);
2. Mapalesso Arajang (menurunkan bajak sawah);
3. Majori Arajang (mempersiapkan Arajang);
4. Maggiri (menampilkan atraksi tarian dengan memperlihatkan kekebalan Bissu terhadap senjata tajam)
Dahulu upacara Mapalili berlangsung selama 9 hari, kemudian dikurangi menjadi 7 hari, dan pada saat ini hanya dilakukan selama 2 hari. Ketika datang ke Segeri, Pajunglolo Peta Tolawe membangun sebuah istana di Baruga. Istana itu kemudian dipindah ke Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri. Istana yang dibangun tersebut sering dipergunakan untuk pertemuan para Bissu.
Bissu di Kabupaten Pangkep masih aktif dalam melaksanakan kegiatan upacara ritual Mappalili yang diselenggarakan setahun sekali sebagai tanda dimulainya pengerjaan sawah untuk bertanam padi. Bissu juga dikatakan sebagai penasehat raja beserta seluruh keluarganya, sekaligus mengabdi dan menjaga Arajang yang merupakan benda pusaka keramat. Benda pusaka ini dipelihara dalam tempat khusus di ruang istana, yaitu di tempat persembahan.
Fungsi Bissu dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai penghubung antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa atau dewa, melalui upacara ritual. Bissu mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan, kematian, pelepasan nazar, persembahan tolak bala, dan lain-lain. Di Bone Bissu mencari nafkah melalui masyarakat yang menggunakan jasa mereka untuk memimpin upacara, misalnya sebagai perias pengantin atau dukun yang disebut Sanro (dukun/tabib). Keberadaan mereka memang sedang terancam punah. Jumlah mereka menurun drastis pada masa pemberontakan DI/TII. Ketika itu gerombolan Kahar Muzakar melalui gerakan DI/TII-nya menganggap mereka kaum penyembah berhala dan menentang ajaran agama Islam. Banyak Sanro (dukun) dan Bissu
63
yang dibunuh atau dipaksa menjadi pria dengan menggunduli rambut mereka dan bekerja layaknya laki-laki. Kemudian tindakan pemusnahan para Bissu dan tradisinya terus berlanjut ketika Orde Baru berkuasa. Bissu dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka ditangkap dan diharuskan memilih antara mati dibunuh atau memeluk agama Islam serta menjadi lelaki normal. Bahkan beberapa pihak pada masa Orde Baru menyebarkan doktrin menyesatkan. terutama kepada anak-anak, bahwa jika mereka melihat Bissu, maka akan bernasib sial selama 40 hari 40 malam. Doktrin ini membuat mereka kerap dilempari batu, bahkan diusir dari desa. Pada saat ini Bissu yang tersisa adalah generasi terakhir yang mewarisi tradisi Bugis Klasik. Mereka tetap berusaha bertahan meski di tengah kondisi yang tak mendukung. Halilintar Latief, seorang peneliti Bissu, mengatakan bahwa: "Bahkan sekarang saya melihat para waria yang bukan Bissu, dibina oleh Dinas Pariwisata untuk sekadar sebuah pertunjukan wisata".
Harapan baru mulai muncul atas nasib para Bissu Segeri dengan adanya penggalangan dan penyatuan gagasan pelestarian oleh masyarakat dengan membentuk lembaga adat. Sebelumnya keberadaan lembaga adat ini tidak didukung oleh pemerintah kabupaten. Namun setelah terjadi pergantian pucuk pimpinan pemerintahan kabupaten pada tahun 2001, bupati yang baru memberikan dukungan terhadap lembaga adat tersebut. Pendampingan terhadap kehidupan para Bissu yang dilakukan atas kerjasama pemerintah kabupaten dan lembaga adat tersebut, telah membuahkan hasil dengan adanya rumah Arajang, walau masih status pinjaman. Rumah Arajang ini adalah bekas kantor BKKBN Kecamatan Segeri. Bantuan fisik lainnya berupa pembangunan pagar keliling seluas 2 ha, yang saat ini sedang berjalan. Hal ini atas prakarsa Andi Benyamin (Andi Benny) selaku anggota DPRD Kabupaten Pangkep. Rumah adat tempat tinggal Bissu yang berada di desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep telah lama telah rusak. Oleh karena itu kemudian dibangun rumah adat yang baru dan pusaka-pusaka yang ada dipindahkan ke rumah adat yang baru tersebut, kemudian rumah yang lama dirobohkan. Pembangunan ini rumah adat tersebut dimaksudkan untuk
64
menghimpun para Bissu dan mewadahi kegiatan-kegiatan budaya yang dimilikinya, sehingga pada saatnya kawasan tersebut nantinya dapat berfungsi sebagai lokasi aktualisasi para Bissu dalam berkesenian. Proyek ini tampaknya lebih bernuansa pada pengembangan pariwisata dari pada suatu kesadaran budaya. Keberadaan komunitas Bissu dalam kehidupan bermasyarakat sudah jauh berbeda dengan semasa kaum Bissu hidup di masa kerajaan. Salah satu contohnya: mereka dahulu sebagai orang yang terhormat dan mempunyai jaminan dalam hidup karena diberikan sebidang tanah sawah sebagai sumber kehidupan. Namun kini sumber penghidupan tersebut menjadi hilang karena pemerintah memberlakukan undang-undang agraria. Untuk saat ini tidak ada yang memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari para kaum Bissu. Akhirnya mereka terpaksa mencari nafkah di luar tugasnya sebagai Bissu. Kondisi inilah yang menjadikan kaum Bissu tidak sepenting perannya pada jaman dahulu. Saat ini mereka harus menentukan sikap dengan memberi patokan harga untuk biaya penyelenggaraan upacara. Sampai saat inipun belum ada donatur, baik dari masyarakat, pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat untuk kaum Bissu tersebut. Akhirnya karena berbagai hal martabat Bissu lambat laun bergeser menurun, baik keberadaannya maupun fungsinya. Penyebabnya, mulai dari dominasi aturan dari agama tertentu yang tidak menghendaki keberadaan Bissu, hilangnya mitos-mitos yang mendukung keberadaan Bissu, dan hilangnya kerajaan-kerajaan tradisional, diganti dengan pemerintahan NKRI. Dahulu pernah ada upaya-upaya untuk menghilangkan keberadaan mereka, antara lain dari DI-TII. Pemberontakan DI/TII pada sekitar tahun 1950-an menggunakan simbol-simbol Islam untuk menghancurkan pusaka dan perlengkapan kerajaan yang dianggap musyrik. Ketika itu banyak Bissu yang dibunuh atau dipaksa untuk menjadi laki-laki sesuai kodratnya. Bissu yang tersisa bersembunyi, tidak berani mempraktikkan aktifitas ritualnya. Bahkan pada peristiwa Pemberontakan PKI pada tahun 1965, kaum Bissu masih dianggap komunis.
Ada pula yang disebut organisasi pemuda Anshor yang pernah melakukan gerakan ”tobat”, banyak kaum Bissu yang ditangkap dan dipancung. Sisanya yang selamat takut untuk melakukan upacara lagi. Baru sekarang ini para Bissu yang selamat
65
mengupayakan untuk menghidupkan kembali tradisi yang ada dalam komunitas Bissu. Salah satu upacara yang dilakukan kaum Bissu adalah upacara kering, yaitu upacara komunitas Bissu tanpa musik. Hal ini sebagai akibat dari gencarnya gerakan DI-TII dan pemuda Anshor yang membuat para Bissu takut untuk melakukan upacara secara terbuka. Namun setelah terbentuknya Dinas Kebudayaan di pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, kaum Bissu berlindung di balik ”kebudayaan”. Dengan demikian tradisi komunitas Bissu tidak dimasukkan dalam agama, tetapi dimasukkan dalam kebudayaan, sehingga dapat secara terang-terangan untuk melakukan upacara tradisional komunitas Bissu tersebut. Kondisi saat ini cukup memprihatinkan. Komunitas Bissu menjadi semakin sedikit, regenerasi seakan terhenti, sehingga komunitas ini hampir punah. Transformasi pengetahuan kaum Bissu masih belum sepenuhnya dapat diketahui orang awam, karena masih terikat kepercayaan yang sangat kuat. Salah satu tradisi kesenian komunitas Bissu ada pada tarian Maggiri yang merupakan bagian dari rangkaian upacara sebelum tanam padi yang disebut Mappalili. Hal inilah yang menjadi fokus penelitian dan hanya di desa Bontomatene komunitas Bissu yang masih tersisa, yang tegolong sebagai Bissu Dewata dan masih terdapat rumah pusaka tempat menyimpan Arajang. Konon ceritanya Arajang tersebut datang secara gaib di Kecamatan Segeri tersebut, yang akhirnya pusaka tersebut tersimpan dengan aman dan dirawat oleh komunitas Bissu hingga saat ini, pusaka tersbut berupa “bajak sawah”.
66
Puang Matowa melakukan sesaji dan doa-doa kepada pusaka kerajaan berupa bajak sawah sebelum melakukan upacara Mapalili.
Sesaji-sesaji yang diletakkan di bawah pusaka sebagai media untuk berdoa kepada Tuhan, yang dilakukan oleh Puang Matowa sebagai perantara dunia atas dan dunia bawah.
67
Demikian pula dengan aktivitas komunitas Bissu yang masih melakukan ritual sebelum tanam padi dan masyarakat sekitar mendukung saat keramaian tiba. Kepercayaan inipun masih sangat berpengaruh karena masyarakat Segeri masih takut melakukan tanam padi sebelum adanya ritual tanam padi tersebut dilaksanakan karena takut akan gagal panen. ANALISIS Penelitian Pelestarian Tinggalan Budaya: “Kesenian” menunjukkan bahwa kesenian hampir punah tersebut dalam kategori masih mempunyai potensi-potensi untuk dikembangkan atau dilakukan rekonstruksi dan revitalisasi sebagai upaya pelestarian budaya. Secara terinci analisis dari data-data di lapangan dan informasi yang diperoleh dari para akan dianalisis. Adapun penjelasannya sebagai berikut.
A. TERJADI KELANGKAAN KESENIAN TRADISIONAL
Kesenian kothek Lesung dan kesenian dalam Komunitas Bissu. Keduanya merupakan kesenian yang berkaitan dengan budaya masyarakat agraris, khususnya yang berkaitan dengan upacara ritual sebelum mulai menanam padi dan kegiatan proses produksi padi menjadi beras.
Kedua jenis kesenian tersebut merupakan jenis kesenian tradisional yang hampir punah. Edward Shils dalam bukunya Tradition (1981) yang ditulis dalam makalah Nunus Supardi yang berjudul “Pendekatan Dalam Memprakirakan Potensi Sumber Daya Manusia (SDM) Kesenian Tradisional”, mengatakan bahwa:
“Sekurang-kurangnya tiga generasi dalam penerusan atas sesuatu hal, untuk kemudian dapat digolongkan hal tersebut sebagai tradisi. Sesuatu akan disebut tradisi bila dianggap oleh masyarakatnya memberikan manfaat yang masih relevan dengan kemajuan jamannya. Hal ini karena tradisi memiliki daya ikat yang kadang-kadang sangat hebat, sehingga yang terlibat di dalamnya menganggap sesuatu itu pantas untuk diteruskan dan kemudian mengikatkan diri dengannya” (2000:1-2).
68
Kesenian tradisional juga sebagai kesenian di mana di dalamnya kita dapat memahami berbagai ajaran yang terkandung di dalamnya, seperti hubungan antar individu dalam kelompoknya, hubungan manusia dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Begitu pula dalam kesenian kothek lesung dan kesenian dalam komunitas Bissu, di mana dalam kedua kesenian tersebut adanya makna dan gambaran tentang kehidupan budaya masyarakat agraris. Kesenian tersebut masih ada oleh karena adanya sebuah kepercayaan masyarakatnya kaitannya dengan kepentingan individual dalam arti kepuasan pribadi. Kesenian kothek lesung di Kecamatan Puring kondisinya hampir punah atau mati suri, namun tetap bertahan. Hal ini terjadi karena bertahannya kesenian kothek lesung bukan dari inisiatif masyarakatnya, namun datang dari rekayasa agen-agen kebudayaan, seperti dari pemerintah, lembaga non pemerintah, pihak-pihak swasta, dan sebagainya. Kelangkaan kesenian kothek lesung juga diawali adanya teknologi yang menggantikan lesung dengan mesin selep atau huler. Hal ini menyebabkan lesung mengalami pergeseran fungsi menjadi benda pajangan yang dipergunakan hanya untuk hiburan, dan sudah tidak mempunyai fungsi vital penumbuk padi. Kesenian kothek lesung sudah dianggap kuno oleh generasi muda. Dahulu kesenian kothek lesung terkait dengan sistem perekonomian pertanian padi, yaitu suatu sistem perekonomian di perdesaan yang mengalami pergeseran fungsi khususnya dalam hal produksi padi menjadi beras. Sehingga kesenian kothek lesung sudah kehilangan kontekss sosial ekonominya. Hal yang sama juga terjadi pada kesenian dalam komunitas Bissu. Di setiap desa dahulu mempunyai kesenian komunitas Bissu, namun sekarang tidak lagi. Kesenian ini ditolal oleh sebagian masyarakat karena dianggap melanggar norma agama. Keberadaan Bissu bukan semata-mata kesenian tetapi ada banyak peranan budaya yang ada dalam komunitas Bissu tersebut yang sangat penting bagi kerajaan pada masa lampau. Bissu sudah hadir lama dalam kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, Pada saat itu Bissu adalah medium yang bertindak dengan mengatasnamakan leluhur untuk berkomunikasi dengan masyarakat.
Komunitas Bissu di Kecamatan Segeri masih melakukan aktivitas upacara ritual sebelum tanam padi dan masyarakat sekitar masih
69
mendukungnya, yang disebut dengan upacara Mappalili. Kepercayaan terhadap upacara sebelum tanam padi yang dipimpin oleh Bissu masih sangat kuat karena masyarakat Segeri masih mempercayai bila tidak melakukan upacara ritual tersebut akan gagal panen. Pada saat upacara dilakukan, Puang Matowa sebagai pimpinan upacara yang dipercaya dapat berkomunikasi dengan dewa dan leluhur untuk memohon berkah-Nya. Oleh karena sifat kepercayaan yang demikian, yaitu sebagai medium antara manusia dan dewa, maka kaum agamawan, khususnya Islam tidak memberikan tempat pada komunitas Bissu ini. Bissu dianggap musyrik (menyekutukan Tuhan Yang maha Esa). Namun komunitas Bissu dapat diselamatkan dengan berpayung pada kebudayaan. Namun sejauh Bissu sebagai komunitas yang minoritas, maka tradisi, religi, dan keseniannya akan terancam punah. Jika konsep kepercayaan terhadap kaum Bissu ini tidak dilestarikan, maka kesenian pada komunitas Bissu pun akan hilang. Jika kesenian dalam komunitas Bissu ini hilang maka fungsi medium juga akan hilang. Faktor-faktor tersebut di atas itulah yang menyebabkan kedua jenis kesenian tersebut menjadi langka.
B. TRANSFORMASI PENGETAHUAN DAN REGENERASI TIDAK TERJADI DENGAN BAIK
Nunus Supardi yang mengutip teori tiga genersi dari Edward Shils mengatakan bahwa tradisi adalah perwujudan karya cipta, rasa, dan karsa sekelompok masyarakat dan hidup terus karena tradisi itu dijaga ketat oleh masyarakat pemiliknya. Tradisi yang telah “lengket” dan menjadi kebanggaan serta jati diri dalam kehidupan masyarakat pemeluknya itu secara terus-menerus ditransfer (ditularkan) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sehingga kehidupan tradisi atau kesenian tradisional dijamin akan tetap berjalan mulus dan lestari meskipun generasinya silih berganti. Namun hal tersebut tidak terjadi pada kesenian kothek lesung maupun kesenian dari komunitas Bissu. Pada kesenian kothek lesung telah terjadi pergeseran fungsi lesung yang semula sebagai alat untuk menumbuk padi dan sebagai media hiburan perempuan petani menjadi hilang dengan adanya mesin selep atau huler.
70
Adanya kemandegan transformasi pengetahuan dari generasi tua ke generasi muda terjadi karena generasi tua sudah sibuk bekerja di sawah yang menguras tenaga, sehingga menjadi kelelahan. Sedangkan generasi muda sudah menganggap kuno terhadap kesenian kothek lesung, meskipun masih antusias untuk melihat bila ada yang bermain. Itulah sebabnya pemain kothek lesung pada saat ini banyak yang sudah berusia lanjut, yaitu 50 tahun ke atas, dan tidak ada regenerasi. Lambat laun pengetahuan bermain kothek lesung akan menghilang seiring dengan menghilangnya generasi tua satu persatu karena tutup usia. Sementara itu tidak terjadi transformasi pengetahuan dengan baik kepada generasi muda. Hal inilah yang terjadi di Kecamatan Puring, sehingga kothek lesung menjadi mati suri meskipun potensi masih ada. Namun agak sedikit berbeda halnya dengan kesenian pada komunitas Bissu. Pergeseran nilai fungsi Bissu terjadi sangat drastis. Bissu yang semula menjadi orang penting dalam kerajaan dengan segala fasilitas kehidupan yang sangat mencukupi kaum Bissu tiba-tiba hilang seiring dengan menghilangnya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, digantikan oleh NKRI. Pada masa-masa awal pemerintahan NKRI terjadi pergolakan-pergolakan berbasis agama, di mana para Bissu diserang, dikejar, dan dihakimi oleh masyarakat dari organisasi Islam, para ulama, dan pemuka agama Islam. Mereka dianggap sebagai manusia yang tidak normal serta menyalahi kodratnya, oleh karena itu dianggap melanggar norma agama. Jumlah komunitas Bissu pun menurun dengan drastis. Mereka yang selamat dari pergolakan-pergolakan tersebut hidup termarginalkan. Termarginalnya komunitas Bissu berarti pula kehancuran kehidupan Bissu. Bissu bergeser menjadi manusia yang tidak dihargai atau dihormati seperti ketika masih tinggal di istana-istana kerajaan pada masa lalu. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan transformasi pengetahuan dan regenerasi komunitas Bissu tidak dapat berjalan dengan baik.
C. KESENIAN TRADISIONAL DAN ELEMEN PENDUKUNGNYA
Endang Caturwati dalam bukunya yang berjudul Seni Dalam Dilema Industri, mengatakan bahwa:
71
“Perkembangan suatu budaya, tentu sedikit atau banyak dipengaruhi oleh masyarakat pendukungnya yang merupakan suatu proses. Dalam arti bahwa ia merupakan suatu gejala perubahan, gejala penyesuaian diri, serta gejala pembentukan yang semuanya disebut sebagai proses sosialisasi. Proses sosialisasi ini terjadi melalui adanya interaksi sosial yang pembentukannya ditentukan oleh beberapa faktor antara lain adalah:
1. waktu dan zaman;
2. sebab dan tujuan;
3. kebutuhan;
4. harapan;
5. keyakinan;
6. paksaan, dan lain sebagainya.”
(Caturwati Endang:2004:4). Pada kesenian kothek lesung, kurangnya dukungan masyarakat disebabkan oleh kenyataan bahwa lesung sudah tidak eksis pada fungsinya seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. Fungsi vital lesung sudah tergeser, yang dahulu sebagai rutinitas hiburan saat menumbuk padi sedangkan saat ini hanya sebagai permainan yang hanya dilakukan oleh generasi tua saja. Begitu pula dengan kesenian pada komunitas Bissu, bahwa kesenian ini masih eksis dikarenakan adanya keyakinan dan kebutuhan dari masyarakatnya untuk tetap menjalankan upacara ritual yang berkaitan dengan pertanian dan siklus kehidupan manusia, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Kepercayaan yang masih diyakini masyarakat bahwa harus ada upacara ritual sebelum tanam padi, atau yang lazim disebut upacara Mappalili, yang menjadikan masyarakat masih mendukung keberadaan dan eksistensi kesenian komunitas Bissu Kesenian merupakan bagian dari kebudayaan, yang mana dalam upaya pelestariannya perlu adanya dukungan dari pemerintah dan masyarakat. Di dalam kehidupan kesenian tradisional dalam perjalanannya dipengaruhi oleh beberapa elemen masyarakat, yaitu:
1. Seniman atau pelaku seni;
2. Pembina atau pengelola seni;
3. Masyarakat penikmat seni;
72
Agar kesenian berkembang dengan baik, maka perlu terjalin kerjasama yang baik dari masing-masing elemen tersebut. Seniman atau pelaku seni adalah seseorang yang selalu melakukan dan menjaga eksistensi kesenian, baik sebagai pencipta maupun pelaku dari seni itu sendiri. Apabila seseorang menjadi pelaku seni, maka kesenian itu tetap ada dan hidup apabila mendapat dukungan dari pembina atau pengelola seni. Dalam hal ini peran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sangat dibutuhkan sebagai pembina dan pengelola seni. Persoalannya apabila kedua elemen tersebut tidak ada dukungan dari masyarakat penikmat seninya, maka lambat-laun kesenian tradisional itu tetap akan punah karena tidak ada masyarakat penikmat karya seni tersebut. Bagaimana dengan adanya pihak yang mau menjadi pengelola seni atau pembina seni? Pihak ini sangat berperan dalam perkembangan kesenian tradisional yang hampir punah. Dengan adanya pengelola atau pembina maka potensi-potensi yang ada dapat terus dijaga dan dikembangkan, sehingga tetap hidup dan eksis. Pengelolaan yang baik dan dukungan sarana yang memadai dapat menunjang kehidupan dan perkembangan kesenian tersebut. Kreativitas sangat diperlukan sebagai perwujudan atas perkembangan sebuah bentuk kesenian tradisional sehingga tetap diminati dan dicintai oleh masyarakat penikmat seni. Selain kreativitas dari seniman dan pengelola/ pembina seni, tetap dibutuhkan dukungan masyarakat untuk mendukung program-program yang dibuat untuk hidup dan berkembangnya sebuah kesenian tradisional.
Hasil penelitian ini bukan hanya menjadi dokumentasi tetapi dapat ditawarkan menjadi program bagi pemerintah daerah. Setiap pemerintah daerah berhasrat mempunyai jatidiri daerahnya sehingga perlu ada pengembangan pada tatanan kebudayaan. Berkaitan dengan kesenian kothek lesung, semua daerah pasti mengalami perubahan fungsi lesung dari alat penumbuk padi menjadi bentuk kesenian. Oleh karena itu diharapkan produk kesenian kothek lesung ini dapat dimanfaatkan secara khusus oleh pemerintah daerah dan masyarakatnya sebagai identitas daerah dan secara umum merupakan salah satu tinggalan budaya bangsa Indonesia. Bentuk-bentuk kesenian kothek lesung dapat dijadikan muatan lokal di sekolah. Oleh karena itu pemerintah daerah dapat
73
bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional dalam upaya menjadikan kesenian ini ke dalam muatan lokal di sekolah. Menurut Halilintar, ada yang melihat tradisi dan kesenian dalam komunitas Bissu sebagai potensi wisata. Kesenian ini menjadi “souvenir” yang dapat dijual kepada wisatawan. Bahkan ada yang mulai memanfaatkannya sebagai lahan eksploitasi untuk kepentingan mereka, tanpa secara bijak mempertimbangkan efek perbuatan mereka pada komunitas Bissu secara keseluruhan. Ritualitas mereka mulai digeser oleh kekuasaan dan kekuatan kapital. Di masa sekarang kesenian Maggiri telah dipentaskan pada pergelaran budaya. Bahkan kesenian ini telah diperkenalkan secara luas di sejumlah negara di Asia dan Eropa. Dalam hal ini tradisi Bugis kuno yang dimiliki para Bissu yang diperkenalkan ke manca negara merupakan kesenian tradisional dalam bentuk tarian. Namun komunitas Bissu tidak dapat mentransfer pengetahuan kepada keturunannya karena mereka tidak bisa menikah dan punya anak. Hal ini merupakan ancaman kepunahan karena tidak adanya penerus tradisi kaum Bissu tersebut. Terancam punahnya komunitas Bissu ditunjukan dengan jumlah Bissu yang dahulu 40 orang, saat ini hanya tinggal 6 orang, yang semuanya bertempat di Desa Bontomatena, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep. Sementara Bissu yang berani menikah pun belum ada kabarnya, apakah dapat mentransfer pengetahuannya kepada keturunannya atau tidak agar dapat meneruskan menjadi seorang Bissu pula. Melihat kedua persoalan di atas, yaitu terancamnya kesenian kothek lesung di Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah, dan kesenian pada komunitas Bissu di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan, maka sangat diperlukan perhatian, bantuan, dan pembinaan secara kontinyu dengan melalui program-program pelestarian, baik dari pihak pemerintah maupun swasta. Mengingat kedua jenis kesenian tersebut sebagai aset tinggalan budaya bangsa Indonesia.
D. UPAYA PELESTARIAN KESENIAN KOTHEK LESUNG DAN KESENIAN PADA KOMUNITAS BISSU
Pelestarian adalah suatu aktivitas untuk melindungi, mempertahankan, menjaga, memelihara, memanfaatkan, membina, dan mengembangkian suatu hal yang berasal dari sekelompok masyarakat, yang meliputi benda-benda, aktivitas, serta ide-ide
74
(Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003: 146). Upaya pelestarian ini meliputi dua jenis, yaitu tangible (bendawi) dan intangible (non bendawi). Upaya pelestarian tinggalan budaya dalam bentuk kesenian juga meliputi kedua jenis tersebut, tangible dan intangible. Pada kesenian kothek lesung, tinggalan budaya yang bersifat tangible adalah lesung dan alu, sedangkan yang bersifat intangible adalah seni musik yang dimainkan dalam permainan kothek lesung, upacara ritual, filosofi-filosofi yang melatarbelakanginya, maupun kaitannya dengan mitos-mitos atau cerita-cerita yang berkembang dalam masyarakat. Pada saat ini lesung dapat dikatakan sudah jarang dibuat. Hal ini dikarenakan fungsi lesung sebagai alat penumbuk padi sudah digantikan oleh mesin huler atau selep. Maka selanjutnya lesung pun mengalami penyempitan fungsi hanya sebagai alat untuk permainan kothek lesung. Dikarenakan sudah jarang dibuat lagi, maka lesung-lesung yang masih ada, terutama yang digunakan untuk permainan kothek lesung, perlu dikonservasi agar tidak lekas rusak. Permainan kothek lesung pun pada saat ini telah ditinggalkan oleh generasi mudanya karena tidak lagi digunakan untuk kepentingan upacara ritual maupun untuk hiburan. Sementara arti filosofis maupun kaitannya dengan mitos-mitos sudah tidak dikenal oleh generasi muda. Meskipun demikian, sebagian masyarakat masih memiliki kerinduan budaya terhadap kesenian kothek lesung. Mereka masih menyenangi suara-suara unik yang ditimbulkan dari permainan kothek lesung. Kesenian ini pun juga masih dimainkan dalam perlombaan-perlombaan antar kampung dalam rangka peringatan HUT Kemerdekaan RI. Potensi-potensi tersebut di atas dapat digunakan untuk melestarikan kesenian kothek lesung. Tentunya kesenian ini harus tetap dikembangkan dengan melibatkan tiga elemen masyarakat, yaitu kreativitas yang diciptakan oleh seniman atau pelaku seni kothek lesung, dukungan pelestarian dan pengembangan dari pemerintah selaku pembina dan pengelola seni, serta hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat selaku penikmat seni. Mengenai permasalahan yang menghambat pengembangan kesenian kothek lesung, seperti anggapan bahwa kesenian ini tidak sesuai dengan kaidah agama, perlu dilakukan pendekatan secara sosial terhadap kaum agamawan yang menentangnya.
75
Pada kesenian pada komunitas Bissu, tinggalan budaya yang bersifat tangible adalah pusaka-pusaka yang disimpan di Istana Arajang, pakaian, dan alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi kesenian Bissu. Sedangkan tinggalan yang bersifat intangible adalah pelaksanaan kesenian yang berkaitan dengan upacara tradisional, seperti Mappalili dan Maggiri, serta upacara-upacara yang berkaitan dengan daur hidup manusia (kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian). Faktor-faktor yang menghambat pelestarian kesenian pada komunitas Bissu, antara lain: berubahnya sistem pemerintahan dari kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, terjadinya penumpasan komunitas Bissu oleh gerombolan Kahar Muzakar melalui gerakan DI/TII, dan anggapan berdasarkan agama bahwa kaum Bissu adalah kaum transsexual, sehingga melanggar kodrat yang diamanatkan oleh Tuhan. Setelah menghilangnya pemerintahan kerajaan di Sulawesi Selatan, kebutuhan hidup komunitas Bissu tidak lagi disokong oleh kerajaan. Di samping itu Bissu sudah tidak menduduki posisi terhormat dalam masyarakat, sehingga masyarakat juga tidak lagi ikut menyokong kebutuhan hidup komunitas Bissu. Jumlah komunitas Bissu juga menurun drastis karena banyak yang menjadi korban penumpasan oleh gerombolan Kahar Muzakar.
Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk melestarikan komunitas Bissu adalah dengan membentuk lembaga adat. Pada awalnya lembaga adat ini kurang mendapat dukungan dari pemerintah. Namun sejak tahun 2001 Pemerintah Kabupaten Pangkep telah memberikan perhatian terhadap komunitas Bissu. Pemerintah Kabupaten Pangkep telah membangun rumah adat untuk tempat menyimpan pusaka-pusaka Arajang di Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri. Selain itu pihak pemerintah daerah juga berupaya memperkenalkan kesenian komunitas Bissu kepada masyarakat mancanegara, yaitu dengan membawa para Bissu untuk tampil dalam pentas kesenian ke negara-negara di Asia dan Eropa. Beberapa pihak mengatakan bahwa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah tersebut lebih bernuansa pada pengembangan pariwisata daripada membangun kesadaran budaya. Namun langkah-langkah ini tetap merupakan langkah awal yang baik dalam upaya melestarikan kesenian komunitas Bissu karena faktor-faktor pendukung kesadaran budaya terhadap
76
komunitas Bissu sudah lama runtuh, seperti tidak adanya lagi pemenuhan kebutuhan hidup dari kerajaan, pemahaman sempit dari sudut pandang agama yang memarginalkan keberadaan komunitas Bissu, dan hilangnya jenis-jenis upacara yang dipimpin oleh Bissu. Dengan pengembangan yang lebih bernuansa pariwisata ini diharapkan dapat membangkitkan kembali keingintahuan masyarakat, terutama wisatawan, terhadap praktik-praktik kesenian yang dilakukan oleh para Bissu, lengkap dengan filosofi-filosofi yang melatarbelakanginya. Kondisi ini akan menarik minat para calabai muda untuk mengembangkan diri menjadi Bissu. Dengan demikian, regenerasi Bissu tetap dapat berjalan.
77
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hasil penelitian membuktikan bahwa kesenian kothek lesung dan kesenian pada komunitas Bissu dikategorikan hampir punah. Kesenian ini berkaitan dengan budaya bertanam padi, suatu hal yang lazim terdapat pada negara agraris seperti Indonesia. Terancam punahnya kesenian di kedua daerah penelitian ini disebabkan oleh karena kurangnya respon dari masyarakat pendukung, terutama generasi mudanya, karena perkembangan teknologi dan perubahan sistem sosial masyarakat. Pada kesenian kothek lesung, hal ini terjadi karena adanya perkembangan teknologi modern mesin penumbuk padi. Sedangkan pada kesenian komunitas Bissu adalah adanya aturan-aturan yang terkait dengan ajaran agama. Pada kedua jenis kesenian tersebut terjadi kemandegan regenerasi, yaitu tidak adanya generasi muda yang melanjutkan jenis kesenian yang telah ditekuni oleh generasi pendahulunya. Kemandegan terjadi karena tidak adanya transformasi ilmu pengetahuan dari generasi tua ke generasi penerus di bawahnya. Hal ini menjadikan generasi penerus menjadi tidak tertarik untuk mempelajari bahkan mengembangkannya. Pada kesenian kothek lesung, para generasi muda sering melontarkan anggapan bahwa permainan kothek lesung membutuhkan pengetahuan yang sulit dan membosankan. Di samping itu kesenian ini dianggap sudah kuno dan ketinggalan jaman. Meskipun demikian, sebagian masyarakat masih memiliki kerinduan budaya terhadap kesenian kothek lesung. Kesenian ini pun juga masih dimainkan dalam perlombaan-perlombaan antar kampung dalam rangka peringatan HUT Kemerdekaan RI. Namun upaya pelestarian tersebut harus tetap melibatkan tiga elemen masyarakat, yaitu kreativitas yang diciptakan oleh seniman atau pelaku seni kothek lesung, dukungan pelestarian dan pengembangan dari pemerintah selaku pembina dan pengelola seni, serta hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat selaku penikmat seni.
78
Pada kesenian komunitas Bissu, salah satu upaya yang dilakukan untuk melestarikan komunitas Bissu adalah dengan membentuk lembaga adat. Pemerintah Kabupaten Pangkep telah memberikan perhatian dengan membangun rumah adat untuk tempat menyimpan pusaka-pusaka Arajang dan memperkenalkan kesenian komunitas Bissu kepada masyarakat mancanegara. Langkah-langkah ini dilakukan karena faktor-faktor pendukung kesadaran budaya terhadap komunitas Bissu sudah lama runtuh, seperti tidak adanya lagi pemenuhan kebutuhan hidup dari kerajaan, pemahaman sempit dari sudut pandang agama yang memarginalkan keberadaan komunitas Bissu, dan hilangnya jenis-jenis upacara yang dipimpin oleh Bissu. Dengan upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Pangkep ini diharapkan dapat membangkitkan praktik-praktik kesenian yang dilakukan oleh para Bissu, sekaligus media untuk regenerasi komunitas Bissu karena menarik minat para calabai muda untuk mengembangkan diri menjadi Bissu.
B. REKOMENDASI
Berdasarkan uraian dan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Puslitbang Kebudayaan, maka disusun beberapa rekomendasi kepada pemerintah pusat maunpun daerah, untuk dipertimbangkan langkah-langkah selanjutnya berkatan dengan pelestarian tinggalan budaya sebagai aset budaya bangsa, untuk melakukan rekonstruksi dan revitalisasi, yaitu:
1. Perlu memberikan kesempatan kepada pelaku seni untuk tampil seluas-luasnya di atas media pentas dengan dukungan fasilitas yang diperlukan seminimal mungkin;
2. Perlu memberikan pembinaan langsung kepada para seniman untuk tetap eksis dan berkreasi dalam berkesenian dengan tanpa merusak bentuk asli kesenian tersebut, dengan memberikan motivasi-motivasi tentang perlunya pelestarian budaya sebagai salah satu kekuatan bangsa;
3. Perlu memberikan peluang pada seniman untuk melakukan kreativitasnya dalam perannya pada pelestarian tinggalan budaya pada bidang kesenian, dengan tidak merusak budaya aslinya;
79
4. Perlu sebuah peraturan daerah yang mempunyai kekuatan hukum atas eksistensi dan keberadaan sebuah kesenian untuk dilindungi dan dilestarikan;
5. Perlu pemikiran dan solusi berupa kebijakan pemerintah pusat atau daerah untuk menempatkan komunitas Bissu sebagai penjaga tradisi, dengan memberikan dukungan biaya sebagai juru pelihara seperti pada juru pelihara benda atau tinggalan budaya kepurbakalaan yang sudah berjalan tersebut.
6. Perlu dukungan dan peranan dari pemerintah atau instansi terkait maupun pemerhati seni dan budayawan dalam upaya melaksanakan program pelestarian tinggalan budaya khususnya pada bidang kesenian;
7. Perlu kesediaan atau keterbukaan dan kerjasama masyarakat dan pemerintah atau instansi-instansi swasta untuk melakukan rekonstruksi dan revitalisasi sebuah kesenian yang hampir punah, agar dapat dibangkitkan kembali untuk dilestarikan sebagai aset budaya bangsa.
80
DAFTAR PUSTAKA Mifta, Lidya Afiandani. dan Nafsin Abdul Karim, 2005. Perempuan Sutradara Kehidupan, di Tangan Dia Masa Depan Dunia. Mojokerto, Jawa Timur: CV. Al-Hikmah. Barthes, Roland. 1967. Elements of Semiology. Translated from French by Annetle Lavers and Colin Smith, New York: Hill and Wang. Caturwati Endang, 2004. Seni Dalam Dilema Industri. Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia. Clifford, James. and George E. Marcus, 1986. Writing Culture. The Poetics and Politics of Ethnography. Berkeley LA-London: University of California Press. Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Terjemahan F. Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2003. Kumpulan Makalah Kongres Kebudayaan V. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Kussudiardjo, Bagong. 1981. Tentang Tari. Yogyakarta: Nur Cahaya. Latief, Halilintar A., 1981. Bissu dan Peralatannya. Makassar: Proyek Pengembangan Permuseuman Sulawesi Selatan. __________, 1983. Tari-Tarian Daerah Bugis. Yogyakarta: Institut Press. _________, 2004. Bissu, Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis. Depok, Jawa Barat: Desantara Utama.
81
Mubyarto, 1985. Peluang Kerja dan Berusaha di Perdesaan. Yogyakarta: Penerbit BPFE. Muder, Niels., 2001. Mistisme Jawa-Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. Pujileksono, Sugeng., dan Puspitosari Hesti, 2005. Waria dan Tekanan Sosial. Malang, Jawa Timur: Universitas Muhammadiyah Malang. Susanto, Budi., 2000. Imajinasi Penguasa dan Identitas Postkolonial, Yogyakarta: Kanisius dan Pusat Studi Realino. Suwardi, Endraswara., 2003. Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
82
NARASUMBER Propinsi Jawa Tengah:
1. Kepala Dinas Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Kebumen
2. Camat Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen
3. Kepala Desa Surorejan, Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen.
4. Kepala Desa Purwaharja, Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen.
5. Kepala Desa Waluyorejo, Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen.
6. Kepala Desa Banjarejo, Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen.
7. Kepala Desa Kedaleman Wetan, Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen.
8. Kepala Desa Wetan Kulon, Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen.
9. Kepala Desa Tambakmulyo, Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen.
10. Pimpinan Kelompok Teater Gadjah Mada, Yogyakarta
Propinsi Sulawesi Selatan:
1. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan
2. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pangkep
3. Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar
4. Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar
5. Andi Halilintar Latief (budayawan)
6. Puang Saidi (Puang Matowa/pimpinan Bissu Segeri)
7. Kepala Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep.