Sabtu, 25 April 2009

Arya Penangsang Gugur

Pada akhir abad 15 agama islam telah berkembang pesat di daerah pantai utara Pulau Jawa. Sebagian besar perintis dan pelopor penyebaran islam adalah para wali. Perkumpulan para wali yang terkenal di tanah Jawa adalah Walisanga. Ketika Majapahit runtuh, salah seorang Pangeran Majapahit (anak Brawijaya V) dengan dukungan para wali mendirikan sebuah kerajaan. Kerajaan tersebut adalah Kerajaan Demak. Pangeran Majapahit tersebut adalah Pangeran Jin Bun atau lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah.
Raden Patah mempunyai 3 orang anak, yaitu: Sekar Tanjung yang kemudian diperisteri oleh Pati Unus, Raden Kikin atau lebih dikenal sebagai Pangeran Sekar Sedalepen (ayah Arya Penangsang), dan yang bungsu adalah Pangeran Trenggana. Setelah Raden Patah wafat, Kerajaan Demak diperintah oleh Pati Unus. Pati Unus tidak berusia panjang. Baru tiga tahun menduduki tahta Demak, ia wafat. Sepeninggal Pati Unus, Demak mengalami kegoncangan. Tahta Demak menjadi rebutan. Sebenarnya yang berhak atas tahta adalah adik dari Pati Unus yang tidak lain adalah Raden Kikin karena Pati Unus tidak meninggalkan seorang anakpun. Akan tetapi Pangeran Trenggana berambisi merebut tahta Demak. Dengan dibantu oleh anak Trenggana bernama Sunan Prawata, Raden Kikin berhasil dibunuh saat melakukan wudlu di sungai. Dengan cara demikian, Pangeran Trenggana berhasil menduduki tahta Demak dan bergelar Sultan Trenggana.
Sebelum meninggal, Raden Kikin telah memiliki seorang putra yang masih kecil bernama Arya Penangsang. Untuk meredam dendam Arya Penangsang, Sultan Trenggana mengangkatnya menjadi seorang adipati di Jipang.
Arya Penangsang adalah putra satu-satunya Raden Kikin. Ketika dewasa dan menjadi seorang adipati, ia terkenal sebagai seorang yang berperawakan tinggi, besar, kekar, berwatak keras, pemberani, dan gampang tersulut emosi (temperamental). Ia adalah murid kesayangan Sunan Kudus. Sebagai murid kesayangan, tentunya ia memiliki kesaktian yang luar biasa. Ia mempunyai senjata pusaka yang ampuh berupa keris bernama Ki Brongot Setan Kober. Ia juga mempunyai seekor kuda perang jantan berwarna hitam yang tangguh bernama Gagak Rimang.
Sejak terbunuhnya Raden Kikin ayahnya, Arya Penangsang menaruh dendam kesumat terhadap Sunan Prawata dan Sultan Trenggana. Ia terpaksa menahan diri karena pada waktu itu para pinisepuh Kerajaan Demak menyetujui pengangkatan Pangeran Trenggana sebagai seorang sultan. Arya Penangsang memandang hal itu tidak sah dan tidak adil. Ia akan tetap menuntut balas dan menuntut keadilan harus ditegakkan. Ia berambisi merebut tahta Demak, karena ia merasa dialah yang berhak atas tahta Demak.
Semenjak pengangkatannya sebagai seorang adipati, Arya Penangsang tidak pernah mau menghadap ke Demak. Sultan Trenggana memaklumi hal itu. Sultan Trenggana telah melakukan berbagai bujukan, tetapi hati Arya Penangsang sangat sulit dilunakkan.
Sedangkan di lain pihak, Sultan Trenggana harus menghadapi adipati-adipati yang tidak mau begitu saja tunduk kepada kepemimpinan Sultan Trenggana. Sebagian besar adipati justru membela Arya Penangsang karena menganggap Arya Penangsanglah orang yang berhak atas tahta Demak.
Sesungguhnya Sultan Trenggana adalah raja yang cakap dalam menjalankan pemerintahan. Pada zaman pemerintahnnya, kekuasaan Kerajaan Demak telah meluas meliputi Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Banten dan Cirebon pun berada di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Tidak salah jika dikatakan bahwa zaman pemerintahan Sultan Trenggana, Demak mengalami masa kejayaan.
Di tengah-tengah keberhasilan Sultan Trenggana dalam pemerintahan, Arya Penangsang masih menyimpan dendam kesumat atas kematian ayahnya. Sementara itu, ia mengetahui bahwa kelak sepeninggal Sultan Trenggana, tahta Demak akan jatuh ke tangan Sunan Prawata, anak Sultan Trenggana. Untuk itulah ia mengutus pembunuh bayaran untuk membunuh Sunan Prawata. Dengan begitu, ia berharap sepeninggal Sultan Trenggana tahta Demak jatuh ke tangannya.
Rupanya yang diharapkan Arya Penangsang tersebut meleset. Tahta Demak justru jatuh ke tangan menantu Sultan Trenggana, Mas Karebet alias Jaka Tingkir dan bergelar Sultan Hadiwijaya. Dalam pemerintahannya, Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat kerajaan ke Pajang dan mengganti nama kerajaan menjadi Kasultanan Pajang. Demak dijadikan sebuah kadipaten dan dipimpin oleh Adipati Arya Pangiri.
Mengetahui hal itu, semakin berkobar dendam Arya Penangsang dan timbul keinginan untuk membunuh Sultan Hadiwijaya. Ia mengutus abdi Jipang untuk membunuh Sultan Hadiwijaya. Untuk menunjang keberhasilan rencananya, Arya Penangsang meminjamkan pusakanya, Keris Ki Brongot Setan Kober, kepada abdi tersebut. Karena kesaktiannya, Sultan Hadiwijaya tidak berhasil dibunuh. Abdi yang tertangkap tersebut tidak dihukum, tetapi disuruh pulang ke Jipang bahkan diberi hadiah berupa harta benda dengan syarat keris pusaka Setan Kober dipinjam dulu oleh Sultan Hadiwijaya.
Mendengar berita itu, Arya Penangsang merasa terhina dan sangat murka. Abdi yang tidak berhasil tersebut hampir saja mati di tangan Arya Penangsang. Namun, kemarahan Arya Penangsang tersebut dapat diredam oleh Sunan Kudus.
Sunan Kudus yang memang membela Arya Penangsang menyusun rencana untuk membunuh Sultan Hadiwijaya. Dengan kedok mendamaikan Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya, Sunan Kudus mengumpulkan mereka berdua di rumah Sunan Kudus. Arya Penangsang datang lebih dulu. Dia diberi wanti-wanti oleh Sunan Kudus agar Sultan Hadiwijaya duduk di kursi yang telah diberi rajah Kalacakra, rajah kesialan. Ketika Sultan Hadiwijaya dengan didampingi Ki Ageng Pemanahan datang, Arya Penangsang sudah berusaha merayu Sultan Hadiwijaya agar bersedia duduk di kursi yang telah diberi rajah kesialan. Awalnya, Sultan Hadiwijaya hampir menduduki kursi tersebut. Akan tetapi, atas nasehat Ki Ageng Pemanahan, Sultan Hadiwijaya tidak jadi mendudukinya, justru Arya Penangsanglah yang mendudukinya. Ia sudah lupa akan pesan gurunya.
Sultan Hadiwijaya membawa keris pusaka Setan Kober yang awalnya akan dipakai untuk membunuhnya. Keris tersebut diminta kembali Arya Penangsang. Keris tersebut dipamerkan oleh Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya pun tidak mau kalah. Beliau menunjukkan keris pusakanya juga bernama Keris Cerubuk Kyai Conthe.
Kedua orang tersebut tidak mau mengalah dan menganggap pusakanya yang paling sakti. Duel pun tidak dapat dihindarkan. Di tengah duel tersebut, Sunan Kudus menghampiri dan melerai. Sunan Kudus yang sudah memegang tangan kanan Hadiwijaya menyuruh Arya Penangsang me-wrangka-kan (memasukkan ke wadahnya) kerisnya. Sebenarnya ucapan Sunan Kudus yang tersirat tersebut bermaksud menyuruh Arya Penangsang menusukkan kerisnya ke dada Hadiwijaya. Arya Penangsang yang tidak paham akan maksud gurunya tersebut memasukkan kerisnya ke wadahnya.
Melihat situasi yang sudah memanas, Sunan Kudus yang bijaksana memutuskan untuk menunda pertemuan dan menyuruh kedua muridnya untuk pulang ke tempat masing-masing. Sultan Hadiwijaya segera meninggalkan rumah Sunan Kudus.
Sultan Hadiwijaya dalam perjalanannya pulang ke Pajang, beliau mampir ke Gunung Danaraja, tempat Ratu Kalinyamat melakukan tapa wuda (tanpa busana). Ratu Kalinyamat adalah adik Sunan Prawata yang juga anak dari Sultan Trenggana. Ratu Kalinyamat menaruh dendam kepada Arya Penangsang karena telah membunuh kakaknya dan juga suaminya. Beliau bertapa di Gunung Danaraja dan bersumpah tidak akan memakai busananya sebelum keramas darah Arya Penangsang. Sebenarnya Sultan Hadiwijaya bermaksud meminta Ratu Kalinyamat untuk tinggal di Pajang karena melihat keadaan kakak iparnya yang memprihatinkan. Akan tetapi, Ratu Kalinyamat tetap teguh pada pendiriannya untuk tetap bertapa. Bahkan, beliau menjanjikan akan memberikan hadiah tanah Pati dan dinikahkan dengan kedua putri Sunan Prawata bagi siapa saja yang bisa membunuh Arya Penangsang. Kedua putri Sunan Prawata bernama Semangkin dan Prihatin ikut bibinya di Gunung Danaraja.
Arya Penangsang yang masih tinggal di kediaman gurunya merasa dibohongi gurunya. Arya Penangsang menuntut janji Sunan Kudus yang mau membantu usahanya dalam merebut tahta. Sunan Kudus mendengar ucapan muridnya itu justru menyalahkan Arya Penangsang yang tidak paham akan maksud Sunan Kudus. Sunan Kudus juga menyalahkan Ara Penangsang karena telah menduduki kursi yang sedianya harus diduduki Sultan Hadiwijaya yang telah diberi rajah kesialan.
Arya Penangsang lemas dan tersungkur menangisi kelalaiannya. Untuk menghapus kesialan tersebut, Arya Penangsang harus menjalani tirakat (menjalankan sesuatu untuk meraih sesuatu) selama 40 hari. Arya Penangsang harus menjalankan tirakat berupa puasa makan dan minum, memberi makan orang yang kelaparan, tidak boleh dekat dengan wanita, dan tidak boleh marah.
Di lain pihak, atas informasi yang diberikan prajurit teliksandi Pajang yang bertugas di Jipang, Sultan Hadiwijaya mengetahui perihal tentang kesialan Arya Penangsang. Bersama Ki Ageng Pemanahan Sultan Hadiwijaya merencanakan serangan kepada Pajang. Atas nasihat Ki Ageng Pemanahan, Sultan Hadiwijaya dilarang memimpin penyerangan. Ki Ageng Pemanahan menyarankan penyerangan dipimpin oleh seorang senopati, yaitu Dhanang Sutawijaya yang juga anak Ki Ageng Pemanahan sendiri. Sultan Hadiwijaya menjanjikan akan menganugerahkan alas Mentaok kepada Dhanang Sutawijaya jika berhasil membunuh Arya Penangsang.
Dalam merencanakan penyerangan, Ki Ageng Pemanahan merundingkan hal tersebut bersama Ki Juru Amertani. Oleh Ki Juru Amertani, Sutawijaya dalam memimpin penyerangan disarankan menggunakan kuda betina putih untuk menggoyahkan kuda Gagak Rimang, tunggangan Arya Penangsang. Selain itu, disarankan juga serangan dilakukan di bantaran sungai Bengawan Sore.
Empat puluh hari yang telah dilalui Arya Penangsang dalam menjalankan tirakat dirayakan dengan mengadakan pesta di kediaman Arya Penangsang. Di tengah-tengah pesta tersebut, salah seorang pekathik (tukang pencari rumput untuk makan kuda) datang dengan kuping berdarah. Pekathik tersebut telah dipotong telinganya oleh Ki Ageng Pemanahan agar menyampaikan surat tantangan kepada Arya Penangsang. Melihat hal tersebut dan membaca surat tersebut, Arya Penangsang sangat marah. Tanpa pikir panjang, ia mengultimatum prajuritnya untuk menghadapi serangan Pajang.
Prajurit Jipang yang telah sampai di sungai Bengawan Sore sudah ditunggu oleh balatentara Pajang. Kedua belah pihak telah bertemu dengan hanya dipisahkan sungai. Berdasarkan saran dari Ki Juru Amertani dan instuksi dari Ki Ageng Pemanahan, para prajurit Pajang di seberang sungai mengejek para prajurit Jipang dengan tujuan agar Arya Penagsang bersama balatentaranya mau menyeberangi sungai Bengawan Sore. Arya Penangsang yang tersulut emosinya bersama kudanya dan para prajurit Jipang menyeberangi kali Bengawan Sore.
Prajurit Jipang yang sudah kelelahan setelah menyeberangi sungai dengan mudah dapat dikalahkan. Bahkan Patih Jipang bernama Ki Mentaun yang sudah berusia lanjut juga gugur di medan pertempuran. Beliau gugur karena kelelahan mengejar-ngejar para prajurit Pajang.
Merasa dipermainkan dan melihat para prajurinya yang telah berjatuhan, Arya penangsang semakin tersulut emosinya. Ditambah lagi kuda tunggangannya yang sulit dikendalikan. Kudanya tertarik kepada kuda betina tunggangan Dhanang Sutawijaya yang telah dipotong ekornya. Dalam situasi seperti itu, Dahanang Sutawijaya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan langsung menghunusakan tombak Kyai Plered, senjata wasiat dari Sultan Hadiwijaya, ke perut Arya Penangsang sehingga ususnya terurai keluar berlumuran darah.
Arya Penangsang adalah orang yang sakti mandraguna sehingga dalam kondisi usus terurai tersebut dia belum mati dan masih bisa mengejar Dhanang Sutawijaya. Ususnya yang terurai hanya disampirkan ke keris Setan Kober. Pertarungan berlanjut dan Dhanang Sutawijaya sudah hampir kalah. Dia yang sudah kelelahan terkapar di tanah. Kepalanya sudah diinjak Arya Penangsang. Arya Penangsang akan membunuh Dhanang Sutawijaya dengan kerisnya. Dia lupa kalau ususnya disampirkan di kerisnya sehingga sewaktu dia mencabut keris dari wadahnya, ususnya terpotong. Karena kesaktiannya pula dia belum mati dengan usus terpotong tersebut. Dia hanya diam tidak bergerak.
Ki Ageng Pemanahan tahu jika Arya Penangsang tidak akan mati jika belum dihisap ubun-ubunnya. Segera Dhanang Sutawijaya melaksanakan perintah ayahnya untuk menghisap ubun-ubun Arya Penangsang. Seketika Arya Penangsang gugur. Pajang menang atas peperangan itu.
Sesuai dengan janji yang telah terucap, Dhanang Sutawijaya mendapatkan hadiah berupa alas Mentaok, Bumi Pati dan kedua putri Sunan Prawata. Dhanang Sutawijaya berhasil membabad dan membangun alas Mentaok yang dulunya berupa hutan belantara menjadi pemukiman yang ramai dan diberi nama Mataram. Konon alas Mentaok adalah masih wilayah kekuasaan Nyi Roro Kidul. Nyi Roro Kidul bersedia menyerahkan alas Mentaok kepada Sutawijaya bahkan mau membantu membangun dan meramaikan dengan syarat Sutawijaya bersama penerus tahtanya selama 7 periode bersedia menjadi suami Nyi Roro Kidul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar